“Apa? Oh, ya ya ya. Aku sudah tau mengenai hal itu.
Hm, baiklah. Nanti akan ku selesaikan. Ne? (ya?) Apa lagi? Ooh, arasseo (aku
mengerti). Sudah dulu ya. Aku tunggu kehadiranmu besok di kantor.” Awan menutup
teleponnya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Hari ini ia
sengaja tidak masuk kantor dan memilih untuk berjalan-jalan. Tapi entah apa
yang membuat langkahnya membawanya ke rumah Rihyun. Ia berhenti saat melihat
Rihyun yang sedang bersiap-siap di depan rumahnya, ingin berangkat ke radio.
Awan buru-buru berlari dan menghampiri Rihyun.
“Annyeong haseyo (apa kabar), Rihyun-ah.” Sapanya
ramah kepada Rihyun. Rihyun menengok dan sedikit terkejut saat menyadari bahwa
yang sekarang berada di sebelahnya adalah Awan. Rihyun melengos, mengalihkan
pandangannya dan tidak mengacuhkan Awan. Ia benar-benar tidak suka melihatnya.
“Ng.. Mianhae (Aku minta maaf).” Ucap Awan pelan,
hampir membuat Rihyun tidak percaya.
“Mwo? (apa?)” tanya Rihyun balik pura-pura tidak
mengerti. Padahal kata-kata itulah yang sudah ia tunggu-tunggu sejak sekian
lama. Rihyun menghentikan langkahnya dan menatap Awan.
“Nan (aku).. nan jeongmal mianhae (aku sungguh-sungguh
minta maaf). Jinjja mianhae. (benar-benar minta maaf)” Ucap Awan sekali lagi,
tapi kali ini lebih keras dari yang sebelumnya. Seolah ingin meyakinkan Rihyun
mengenai ucapannya.
“Untuk apa? Oh~ karena kau telah membuat hubunganku
dengan Eunhyuk kacau sekarang ini? Dwaesseo (sudahlah), lupakan saja.” Tebak
Rihyun asalan. Begitu banyak hal buruk yang telah Awan lakukan padanya, ia
sendiri sampai bingung. Dan Awan hanya mengucapkan satu kata, “Mianhae” untuk
semuanya? Sangat tidak adil.
“Bukan. Aku tidak menyesal untuk itu. Aku ingin
meminta maaf atas sikapku dulu padamu. Aku menyesal kenapa aku harus
meninggalkanmu dulu sampai membuatmu lari ke Korea seperti sekarang. Sungguh,
aku minta maaf.” Kali ini Awan menjelaskannya dalam Bahasa Indonesia, tidak ingin
orang-orang di jalan itu mengetahui apa yang sedang ia bicarakan.
RiHyun mengernyit diam. Kemudian menarik nafas
panjang dan tersenyum kecil.
“Kau pikir aku akan memaafkanmu? Atas dasar apa? Gak
segampang itu. Kau sudah membuatku terpuruk dan sekarang kau datang begitu
saja, membuat masalah baru dalam hidupku dan hanya mengucapakan kata maaf?
Menurutmu itu adilkah?” ucap Rihyun datar.
RiHyun mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan mulai pergi meninggalkan
Awan. Angin musim gugur yang bertiup lembut tidak memadamkan emosi yang mulai
bergejolak di dalam dirinya. Rasanya ia ingin menangis. Tapi Rihyun sendiri
bingung, apakah ia harus menangis karena senang Awan telah meminta maaf padanya
atau entahlah. Yang jelas, ia harus benar-benar pergi meninggalkan Awan sebelum
air matanya jatuh perlahan.
*
“Kau! Sudah aku bilang kan? Aku tidak mau melihatmu.
Pikyeo! (Minggir)” RiHyun sengaja meninggikan suaranya dihadapan laki-laki yang
sekarang berada di depannya. Berharap laki-laki tersebut segera meninggalkannya
sendirian, atau RiHyun akan kelewat emosi dan melaporkannya kepada polisi. Tapi
sayangnya, tidak RiHyun lakukan.
“Tolong Rihyun-ah. Tolong dengarkan aku sekali ini
saja.”
Rihyun berhenti. Menengok ke balik bahunya, menunggu
Awan untuk menghampirinya dan menjelaskan semuanya. Menimbang-nimbang apakah ia
sanggup mendengar semua yang akan Awan ucapkan atau memilih kabur sekarang
juga. Namun, alih-alih ia kabur _berlari meninggalkan Awan dan masuk
ke dalam salah satu taksi yang berada di pinggir jalan itu, RiHyun malah
berbalik, menatap Awan dan menarik napasnya berat. Mempersilahkan Awan untuk
bercerita, membuat sebuah senyum terekah di wajah kurus Awan.
*
“Aku.. saat itu aku tidak punya pilihan RiHyun-ah.
Aku sungguh minta maaf karena harus berbohong padamu. Harus meninggalkanmu
padahal aku tahu saat itu kau membutuhkanku. Saat kau terpuruk. Saat kau kecewa
karena kegagalanmu memasuki universitas yang kau inginkan, ditambah lagi
masalah teman-temanmu yang menghianatimu. Aku sungguh minta maaf karena justru
pada saat itu, aku malah pergi darimu. Memutuskan hubungan kita. Tapi aku tidak
tahu kalau ternyata kau begitu jatuh hingga frustasi seperti itu. Aku mengira
kau akan baik-baik saja karena aku tahu, kalau kau adalah orang yang kuat. Tapi
percaya padaku, Rihyun. Aku sudah menjelaskannya pada ayahmu. Dan beliau, yah
Beliau memaklumiku. Beliau mempersilahkan aku pergi darimu dan menyelesaikan
tugasku.” Awan masih memandangi RiHyun. Mencari-cari sebuah tanda pemberian
maaf dari RiHyun, menunggu respon positif darinya tapi kenyataannya adalah
RiHyun sama sekali tidak menatapnya balik. Atau setidaknya merespon barang satu
katapun. RiHyun hanya menunduk, sesekali menatap lurus ke depan tanpa
mengindahkan Awan yang berada di sampingnya.
“Aku tahu aku salah. Aku tahu seharusnya aku
langsung menjelaskannya padamu saat itu. Bukan melalui ayahmu. Aku.. aku hanya
tidak mau melihatmu semakin sedih saat itu. Sungguh. Tapi aku tidak percaya
bahwa semua keputusanku yang sudah aku buat matang-matang saat itu malah
berujung seperti ini. Membuatmu sangat membenciku dan menganggapku sebagai
pengganggumu. RiHyun-ah. Tolong lihat aku. Aku tidak berbohong RiHyun-ah.”
“Dan sekarang.. aku kembali RiHyun-ah. Aku kembali.
Aku ingin menjemputmu kembali. Tugasku sudah selesai RiHyun-ah. Sekarang aku
sudah memimpin perusahaan ayahku. Dan aku sudah berjanji pada ayahmu untuk
memintamu kembali saat tugasku ini sudah selesai. Aku tahu mungkin agak
terlambat. Tapi.. maukah kau kembali bersamaku lagi?”
RiHyun tersentak. Tidak percaya akan pendengarannya
saat ini. Rihyun menelan ludah bulat-bulat. Sebuah perasaan senang menjalari
tubuhnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa rasa senang itu semakin menjalar ke
seluruh bagian sel tubuhnya. Merangsang otaknya untuk segera memberi jawaban
YA, tapi.. tidak ada satu patah kata pun yang terucap di mulut RiHyun.
Alih-alih menjawab Ya, RiHyun malah tersenyum lirih.
Sedetik kemudian tertawa kecil. Meluapkan rasa senangnya dengan cepat dan
tersenyum lebar. Senyum yang benar-benar tulus dan tidak ada kecurigaan
terhadap Awan sama sekali. Yang yah, jujur saja, membuat Awan bertambah lega
dan mengira-ngira jawaban apa yang menunggunya.
“Jadi.. apa jawabanmu?”kata-kata itu keluar begitu
saja dari mulut Awan tanpa bisa dicegah.
“Sekarang?”ledek Rihyun membuat sebuah tawa terpecah
diantara keduanya.
“Yah, kau tahu kan aku bukan tipe orang yang bisa
sabar.” Ucap Awan.
“Baiklah.” RiHyun menarik napasnya dalam-dalam.
Berpikir keras bagaimana ia mengawalinya. Mencari kata-kata yang pas untuk
diungkapkannya. Dan akhirnya ia tahu, RiHyun tau darimana ia harus mulai, “Awan..
Kau tahu, pada mulanya aku benar-benar membencimu. Setidaknya sampai 10 menit
yang lalu. Tapi begitu kau menjelaskannya padaku. Aku.. merasa sangat lega.
Sangat senang. Karena pada akhirnya kau datang padaku dan meminta maaf padaku.
Itu membuatku merasa sangat dihargai, Awan. Sungguh. Tapi.. kau salah. Kau
salah kalau mengira bahwa aku tidak mengetahui alasanmu kenapa meninggalkanku
sendiri. Aku sudah mengetahuinya Awan. Dari ayahku. Pada hari itu juga. Namun,
yang membuatku sangat kecewa adalah kenapa kau tidak langsung bicara padaku.
Kenapa harus lewat ayahku? Tapi itu tidak jadi masalah lagi sekarang. Aku memaafkanmu.”
Awan mendengarkan dengan seksama sembari mendekap erat tangannya sendiri. Masih
menunggu jawaban atas pertanyaannya pada RiHyun. Awan mencoba tersenyum pada
RiHyun tapi tidak dapat dipungkiri terdapat keraguan dalam dirinya kalau-kalau
RiHyun menolaknya.
“Kau sendiri tau kan bahwa kau adalah cinta
pertamaku. Meskipun agak lucu karena aku tidak pernah membayangkan akan seperti
ini jadinya. Tapi, percayalah padaku. Kau masih ada di dalam hatiku, bahkan
sampai detik ini.” RiHyun menghela napasnya. Mencari-cari kata yang tepat untuk
diungkapkannya pada Awan sehingga tidak melukainya. Tidak lagi. RiHyun tidak
mau hal ini berkelanjutan. Tidak mau kebencian selalu melilit hidupnya lagi.
Tidak. Tidak untuk selamanya. RiHyun menoleh, menatap Awan sekali lagi dan
tersenyum lembut. Memperhatikan senyum lebar yang kini menghiasi wajah Awan.
“Tapi aku minta maaf Awan. Aku tidak bisa bersamamu.
Aku.. Kau tahu, aku menyukai orang lain sekarang.” Jelas RiHyun. Sedetik
kemudian, senyum di wajah Awan kembali sirna.
“Barusan kau bilang bahwa aku masih tersimpan di
dalam hatimu kan? Benar kan?”
“Yah.. itu benar Awan. Tapi mengertilah. Kau hanya
bagian dari masa laluku. Tapi kita masih bisa berteman kalau kau mau.”
“Apakah aku terlambat? Apakah ini karena Eunhyukmu
itu?”
“Seperti yang kau lihat selama ini Awan.” Rihyun
tersenyum, mencoba membuat Awan untuk tersenyum juga. Mencari-cari celah di
wajah Awan untuk mengetahui apakah Awan kecewa atas ucapannya? Atau awan bisa
menerimanya. Karena RiHyun tau, Awan bukanlah tipe orang yang bisa dengan mudah
menerima keputusan orang lain.
Awan tersenyum. Persis seperti yang diharapkan Rihyun,
tapi senyum itu dengan cepat pula menghilang dari wajah tampannya. Meninggalkan
jejak kepedihan yang cukup dalam. Baru saja RiHyun ingin menjelaskan kepadanya,
meminta pengertian dari awan ketika tiba-tiba saja Awan berkata, “Baiklah. Aku
mengerti. Tapi, Rihyun. Dengar! Aku tidak akan menyerah. Tidak akan. Mungkin
saat ini kau tidak bisa menerimaku. Tapi percayalah RiHyun. Aku akan kembali
lagi. Memintamu kembali lagi padaku.”
“Terserah. Tapi.. tidakkah kau bisa menerima
kenyataannya sekarang Awan? Aku menyukai Eunhyuk. Dan kau tidak bisa
memungkirinya. Jadi, aku mohon padamu. Berhentilah. Dan jangan ganggu aku juga
Eunhyuk. Jangan kau sakiti dia lagi. Masalah kita sudah selesai bukan Awan?”
Tapi tidak Awan jawab. Mereka berdua terdiam dalam hening. Tidak ada satupun
yang bersuara. Hanya angin musim gugur yang menemani mereka.
“Mmm, Aku harus berangkat ke radio sekarang. Mianhae
(maaf) Awan. Jinjja mianhae (benar-benar minta maaf). Annyeong.”
RiHyun berjalan meninggalkan Awan sendirian.
Berharap keputusannya meninggalkan Awan saat ini adalah tepat. Rihyun membuka
tasnya, mengambil ponselnya dan mencari sebuah nama kontak yng ada di poselnya.
Ingin menelepon kontak tersebut ketika tiba-tiba mendengar derap langkah kaki
yang begitu cepat –seperti berlari_ di belakangnya. Ia menoleh dan
mendapati Awan sedang menuju arahnya.
Kalau saja kejadian itu bisa diperlambat, kalau saja
ia bisa menyadarinya lebih awal. Mungkin Rihyun bisa menghindar. Bisa menolak
dekapan Awan yang sangat tiba-tiba. Membuat dadanya begitu sesak. Begitu tidak
bisa bernapas.
“Awan.. lepas. Aku mohon.” Tapi tidak dihiraukan
oleh Awan. Rihyun berusaha melepasnya, mencari celah untuk bisa bernapas,
“Awan.. LEPAS!!” Rihyun dengan sekuat tenaga mendorong Awan menjauh darinya.
Alih-alih mendapatkan Awan yang terdorong jauh ke belakang, RiHyun malah
mendapati dirinyalah yang terdorong ke belakang, jatuh ke sisi kanan jalan
raya. Berusaha mencari keseimbangan dirinya akibat sepatu haknya yang patah sebelum
menyadari bahwa ada sebuah van yang melaju di sampingnya. Persis di sampingnya.
BRAAAKK!
Semuanya terjadi begitu cepat. Tanpa bisa
diduga-duga, tanpa bisa dicegah oeh RiHyun ataupun Awan. RiHyun mulai
kehilangan kesadarannya. Pemandangan di sekitar mata RiHyun mulai kabur, tidak
jelas. Tapi RiHyun masih bisa menangkap jelas wajah Awan yang terlihat panik di
depannya. Berusaha mencari pertolongan sementara orang-orang mulai mendatangi
mereka. Perlahan, semuanya menjadi sangat kabur hingga akhirnya gelap. Semuanya
gelap. Tanpa ada cahaya sedikitpun. RiHyun tidak sadarkan diri.
*
“Jadi begitukah? Jadi kaukah orangnya? Orang yang
membuat RiHyun terlihat kacau saat pertama kali sampai di sini. Tidak kusangka
kau benar-benar datang kemari.” MinYoung menatap sinis Awan. Masih menyandarkan
punggungnya ke dinding luar kamar rawat RiHyun. Begitu pula dengan Eunhyuk dan
Donghae. Ada secercah perasaan senang di dalam hati Eunhyuk, dan kali ini
Eunhyuk tidak mau menyia-siakannya.
Mendengar pengakuan Awan barusan, menyadarkan
Eunhyuk satu hal; bahwa ia benar-benar bodoh. Bagaimana bisa ia tidak menyadari
kalau selama ini RiHyun juga menyukainya. Bagaimana bisa ia membiarkan perasaan
bingungnya selama ini? Malah ia berpikir yang tidak-tidak tentang sahabatnya,
Donghae. Tentang RiHyun yang lebih menyukai Donghae lah, Donghae yang serba
lebih dibandingnya lah, apapun itu. Prasangka buruk itu membuat Eunhyuk luput
akan segalanya.
Dan Eunhyuk tau, ia sangat bersalah.
Suara pintu memecah lamunan Eunhyuk. Terlihat dokter
yang menangani RiHyun keluar dari kamar RiHyun, menyatakan pada mereka semua
yang ada di sana bahwa keadaan RiHyun sudah mulai membaik dan tidak ada yang
perlu dicemaskannya. Seketika, perasaan lega menyelimuti MinYoung, eunhyuk,
Donghae dan juga awan yang masih berada di sana.
Terima kasih Tuhan, ucap Eunhyuk lirih.
*
Seminggu berlalu sejak kejadian yang menimpa RiHyun.
Tidak ada yang berubah kecuali kondisi RiHyun yang sudah sangat membaik.
Eunhyuk dan juga Donghae masih sering mengunjungi RiHyun hampir tiap hari.
Membantu MinYoung yang sendirian merawat RiHyun lantaran orang tua Rihyun yang
belum bisa datang kembali ke Seoul. Awan tidak pernah menunjukkan diri lagi,
setidaknya setelah hari itu.
“Selamat pagi!” sapa Eunhyuk ketika memasuki kamar
RiHyun.
“Eunhyuk-ah!! Selamat pagi ^^”
“Sudah sarapan?”tanya Eunhyuk sambil menyodorkan
sekuntum lili merah yang dari tadi disembunyikan eunhyuk di punggungnya kepada
RiHyun
“Sarapan? Sudah kok. Baru aja. Apa ini? Lili merah?
Mm, gomawoo (terima kasih; informal) Eunhyuk-ah. Tapi.. kenapa kau selalu
memberiku Lili merah? Maksudku, aku memang tidak terlalu menyukai dan mengerti
tentang bunga. Jadi aku gak terlalu ngerti artinya apa.”
“Nanti juga tau sendiri. Ini, aku ingin
mengembalikan jepit rambut ini padamu. Kau menjatuhkannya sewaktu dibawa ke
sini.” Eunhyuk menyodorkan sebuah jepit rambut berwarna biru safir kepada
RiHyun. RiHyun tertegun. Menatap jepit rambut itu lekat-lekat. Seingat RiHyun,
ia memang membawanya saat ia mengalami kecelakaan minggu lalu. Tapi, ia tidak
menyangka kalau jepit rambut itu masih ada.
“Buang saja. Aku tidak mau menyimpan barang yang
tidak kuketahui darimana asalnya dan siapa pemberinya.”
Eunhyuk langsung terpaku. Diam. Tidak tahu harus
berbicara apa. Sekali lagi, ia merasa sangat malu dan bersalah. Maksudnya,
kenapa juga ia tidak mau mengakui bahwa jepit rambut itu memang darinya? Kenapa
juga saat itu ia harus bilang bahwa jepit rambut ini pemberian Donghae? Eunhyuk
mau tak mau menggaruk kepalänya yang tidak gatal. Terlihat salah tingkah.
“Oke. Baiklah. Ini, memang pemberianku. Jadi, apakah
kau masih tidak mau menyimpannya?”jawab Eunhyuk akhirnya pasrah.
“Tidak. Aku akan memakainya, tentu saja.”setika
langsung mengaitkannya pada rambut panjangnya yang terurai tidak jelas.
“Eunhyuk-ah. Aku bosan di sini. Kita jalan-jalan keluar ya?”
“Di luar anginnya masih cukup kencang lho, ditambah
lagi udara semakin dingin. Sebentar lagi kan musim dingin Rihyun-ah. Kau tidak
apa-apa memang?”
RiHyun hanya menggeleng, menujukkan rasa antusias
yang besar. Eunhyuk berpikir sebentar, menimbang apakah tidak apa mebawa RiHyun
keluar kamar sementara cuaca sedang tidak bersahabat. Namun, pikiran itu
langsung tergantikan oleh rasa antusiasme dari Eunhyuk juga ketika Rihyun
menunjukkan sebuah jaket tebal –yang dikenalinya sebagai jaket miliknya- dan
sesuatu yang perlu ia bicarakan dengan RiHyun. Maka Eunhyuk pun setuju.
Mereka berjalan keluar, Eunhyuk memegangi tangan
Rihyun agar tidak jatuh (lantaran RiHyun yang tidak mau duduk di kursi roda).
Mereka berjalan menyusuri koridor. Kemudian berbelok ke arah kiri dan melewati
meja resepsionis rumah sakit tersebut sebelum akhirnya keluar. Ke arah taman
depan. Eunhyuk membantu RiHyun duduk di sebuah bangku kecil di sebelah air
mancur. Menghadap ke arah jalan raya hingga akhirnya memilih duduk di sebelah
RiHyun.
“RiHyun-ah.”
“Ne? Wae geurae? (ada apa?)” jawab RiHyun singkat
sembari menoleh ke arah Eunhyuk. Mencoba menunjukkan seulas senyum di bibir
pucatnya.
“Aku.. menyukaimu. Lebih dari sekedar teman.”
RiHyun terkejut. Tentu saja bukan? Siapa juga cewek
yang tidak akan terkejut mendapatkan pengakuan yang begitu mendadak, frontal
dan maaf saja, tidak romantis. Tidak seperti di drama-drama korea yang
mengisahkan bahwa seorang laki-laki harus mengucapkannya di sebuah restoran,
dengan jamuan makan malam yang cukup mewah. Si pria memakai setelan jas yang
rapih dan si wanita, memakai gaun atau setidaknya dress serta sepatu hak
tinggi. Dan juga riasan wajah! Oh, sangat bertolak belakang dengan keadaan
Rihyun saat ini. Dengan baju piama, rambut sedikit acak-acakna, tanpa riasan
wajah –yang ada hanyalah wajah putih kusam dan pucat- dan jaket yang membalut
wajahnya, juga sendal jepit rumah sakit yang ya ampun sangat tidak bisa
terbayangkan. Namun tetap harus dibayangkan.
“Begitukah? Gak romantis banget sih ngucapinnya!
Hahaha Setidaknya kau harus menunggu sampai aku sembuh dulu atau yah,
setidaknya dengan riasan wajah sedikit saja.”
Eunhyuk tergelak. Menahan tawanya yang hampir saja
meledak kalau-kalau ia tidak sadar bahwa di sini adalah rumah sakit. Eunhyuk
melihat RiHyun yang kali ini agak cemberut dan seketika itu juga tawanya
langsung pecah.
“Buahahaha. riHyun-ah. Yang benar saja. Kau tidak
perlu seperti itu. Aku tahu aku tahu. Aku ini memang sangat tampan . Tapi gak
usah kayak gitu juga.”
“Jadi kau meledekku sekarang?”
“Tidak. Aku serius. Aku sungguh serius. Kau.. bagiku
mau tanpa rias ataupun pakai sama saja. Aku tetap menyukaimu. Tidak kurang,
malah bertambah. Dan kau hanya tinggal percaya padaku saja bahwa aku
menyukaimu. Dengan sepenuh hati.”
aaaaaaaaaaaaaa~~~~~~ apakah aku first reader? *plaaaaaaak
BalasHapuslanjut lanjuuuuuuuuuuuut~~~~ aku paling suka chapter iniiiiiii >///<
masih bersambung ini kaaaan? ayooo lanjuuuut~~~
kelanjutan rihyun sama enhyuk gmn itu? jadian gak? jadian ajaaa siiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih >o<
(nurin: readers ini minta ditonjok banget -____-") kkkk~
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus