Kamis, Juli 31, 2014

Kisah Gadis Cantik; Cerita Baru

Hai, lama kita tak berjumpa. Lagi-lagi, aku ingin bercerita padamu mengenai kisah dari gadis cantik. Izinkan aku menyampaikan kisah terakhir ini. Aku janji padamu bahwa ini adalah akhir dari kisah yang sanggup aku ceritakan padamu.Tetapi sebelum aku melanjutkan cerita ini, sebelum aku menyampaikannya padamu, aku ingin sedikit bercerita tentang diriku. Tolong izinkan aku.

Katakanlah... bahwa aku sedang patah hati. Sakit hati. Kau tentu tahu bagaimana rasanya bukan? Bagaimana kau merasakan yang namanya sakit hati, bagaimana ketika seseorang yang kau sayangi, namun orang tersebut bukanlah orang yang terbaik untukmu. Atau, ketika kau harus memilih, di antara 2 orang yang kau sayangi, padahal dua-duanya sangat berarti untukmu, dan kau tahu, yang satu memang (harus kau akui) bahwa kau lebih membutuhkannya, namun harus segera (cepat atau lambat) kau harus memilih salah satunya. Itulah yang sedang aku alami. Bingung kah? Aku pun bingung bagaimana harus menjelaskannya padamu.

Aku tidak ingin membuat salah satunya sakit, namun ketika aku memilih pun, aku yang sakit. Setiap keputusan selalu memiliki resiko kan, yah? Setiap resiko pasti selalu mengorbankan salah satu pihak, dalam kasusku, lebih dari satu pihak.

Minggu lalu, aku dilamar. Dan kuberitahu, bahkan sampai hari ini pun, aku belum memberikan jawabanku kepada lelaki yang melamarku, padahal ia sudah datang ke rumahku kemarin untuk meminta jawaban dariku. Tapi, entahlah, aku hanya diam dan meminta waktu. Aku bingung harus menjawab apa, rasanya memberi keputusan IYA atau TIDAK kemarin adalah sesuatu yang sangat sulit, yang sungguh aku katakan padamu.. rasanya seperti tenggorokanku tercekat. Tidak bisa menjawabnya. Orangtuaku pun tidak mengetahui jawabanku apa. Sampai-sampai kedua orang tua kami (aku dan laki-laki itu) merasa kecewa. Dari raut wajahnya pun sangat terlihat.

Namun, yang tidak habis pikir, lelaki itu, dia berkata bahwa dia akan menunggu sekali lagi untuk mendapat jawabanku. Jadi, aku tidak bisa apa-apa dan aku membolehkannya untuk menunggu sekali lagi.

Ia pulang dan berjanji akan datang minggu depan di Hari Jumat. Hari itu, aku harus menyampaikan jawabanku.

Aku pergi ke kantor hari ini seperti biasa. Sudah hampir 2 tahun ini aku tidak bertemu dengan gadis cantik, sahabatku yang aku rindukan. Sungguh aku merindukannya, namun aku tidak memunyai nomor teleponnya sejak poselku yang lama hilang. Aku putus komunikasi dengannya. Dan entah mengapa, ia tidak mencoba menghubungiku. Atau mungkin ia kesulitan untuk menghubungiku. Aku tidak tahu. Semoga ia baik-baik saja. Dan semoga, aku bisa dipertemukan dengannya hari ini.

Aku menjalani hari ini tanpa memikirkan kejadian kemarin. Aku ingin bersikap biasa, dan aku tidak ingin terlalu dipusingkan oleh itu. Entahlah. Sudah cukup aku merasa gelisah, dan aku tidak mau membawanya ke urusan pekerjaanku. Hingga pekerjaan ini selesai, hingga aku kembali lagi ke rumah.
*

Aku pulang ke rumah setelah semua pekerjaanku selesai. Aku tahu, aku harus mendiskusikannya kepada orang tuaku. Karena bagaimanapun, aku butuh saran mereka. Namun hal yang mengejutkan kembali terjadi padaku.

Gadis cantik itu sedang duduk di sofa ruang tamu rumahku. Aku senang bukan main! Ia tersenyum padaku dan mengucapkan salam serta menyapaku. Ibuku berkata bahwa ia telah menunggu hampir satu setengah jam. Ia tidak tahu kalau aku sekarang sudah bekerja (Ia juga bekerja), Ibuku menyuruhku untuk menemaninya terlebih dahulu. Dan segera, ibuku meninggalkan kami berdua.

Aku tahu, jika Gadis Cantik datang ke rumahku. Pasti, ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Dan begitu pula aku! Ya Tuhan, terima kasih! Aku membiarkan ia untuk bercerita lebih dahlu.

Ia tertunduk. Tahu bahwa saat aku menatapnya dalam, ia bahkan tidak bisa membohongiku. Namun, wajah cantiknya tetap tidak bisa hilang meskipun ia menunduk, meskipun ia sedih, meskipun ia sedang menutupi sesuatu apapun dalam hatinya. Aku tahu itu. Ya Tuhan, aku sangat tahu itu.

Namun, apapun yang akan ia sampaikan padaku, kumohon, janganlah sesuatu yang buruk. Janganlah sesuatu yang membuatku merasa sakit karena kesedihannya. Atau setidaknya, meskipun aku tahu kemungkinan besar bahwa itu sesuatu yang membuatnya sedih, aku tidak ingin lebih menyakitinya dengan cerita yang ingin aku sampaikan.

“Sebulan yang lalu, aku di lamar.”

Aku terlonjak kaget. Oleh siapa?

“Seseorang itu bukan Mahameru ya?” tuduhku.

“Iya.”

“Dan jawabanmu?”

“Aku menerimanya.”

Bagaimana mungkin? Apakah itu alasannya? Semua kemungkinan berkecamuk di dalam pikiranku. Namun, sebisa mungkin aku menjaga perasaanku untuk tetap tenang.

“Mengapa?” aku bertanya lemas.

“Mm.. tidak semua yang kau ingikan baik untukmu kan? Mungkin itu yang terjadi padaku. Bertahun-tahun aku mengharapkannya, namun Tuhan tidak memberiku jawaban Ya atas harapanku. Tuhan menjawabnya lain.”

“Apakah Mahameru tidak datang ke rumahmu?”

“Ia datang. Jauh sebelum calon suamiku datang ke rumahku.”
Apa? Lalu mengapa....

“Dulu aku berdoa, aku ingin Mahameru lah yang pertama datang ke rumah orangtuaku. Dan Tuhan menjawabnya iya. Namun meskipun ia yang pertama datang, Tuhan menjawabnya tidak untukku.”

“Lalu apa alasanmu menolaknya?”

“Orangtuaku yang menolak.”

Ya Tuhan... hatiku lebih sakit daripada sebelumnya. Mengapa engkau menggariskan sebuah jalan yang sangat sulit baginya? Mengapa engkau sangat menguatkan hatinya. Dan mengapa, untuk kesekian kalinya, kau membuatku iri padanya.

Aku iri. Aku iri dengan ketegaran hatinya. Aku iri bahkan saat ini ia bercerita, ia tidak menangis sama sekali. apakah aku jahat, Tuhan? Mengapa harus kami berdua yang mengalaminya?

Mengapa ia begitu baik hati. Mengapa ia bisa sangat mementingkan orangtuanya dibandingkan perasaannya. Mengapa di zaman seperti ini, bahkan masih saja ada hal-hal berbau Siti Nurbaya? Sekali lagi, mengapa aku tidak bisa baik seperti dirinya.

Aku menitikkan air mataku, yang segera dihapus oleh tangan lembutnya.

“Hei, jangan sedih. Aku baik-baik saja. Sungguh, lagipula calon suamiku, ia pasti lebih baik dari Mahameru. Iya kan?”

Aku mengangguk.

“mengapa orangtuamu menolaknya?”

“Alasannya, karena usia kami.Kita tahu bahwa aku dan Mahameru hanya terpaut satu tahun.Dan orangtuaku berkata bahwa perempuan pasti akan lebih cepat menua dibandingkan laki-laki.Sudah banyak bukti yang menunjukkanya, karena itulah fakta yang terjadi. Dan aku menyadari juga membenarkan hal itu. Meskipun dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa usia bukanlah masalah, bahwa tujuan dari kita menikahlah yang menjadi masalah. Karena sejatinya, tujuan menikah adalah untuk beribadah bukan? Untuk mencari surga dari Tuhan kita, dan itu tidak dilihat dari usia”suaranya sangat parau.

“Tapi aku tidak bisa tidak patuh pada kemauan orangtuaku. Aku tidak ingin Tuhan marah padaku karena tidak patuh pada mareka.Ridho dari orang tua kita, maka itu adalah ridho Tuhan kita juga kan? Apakah aku benar mengambil keputusan ini, sahabatku?”

Air mataku menetes lebih banyak. Aku menyakitinya, sekarang ia bertanya padaku apakah keputusan itu benar? Namun sebenarnya yang ingin dia tanyakan adalah, apakah aku sanggup melepaskan Mahameru? Aku tahu itu.

“Aku menyanyangimu, Gadis Cantik. Dan aku tahu, setiap keputusan yang kau ambil pasti atas pertimbagan yang matang. Namun, aku tidak yakin akan perasaanmu. Mungkin waktu yang akan menjawabnya.”

“Begitu ya...”

“kapan dirimu akan menikah, Gadis cantik?”

“Insya allah, bulan depan.”

“Maka kau harus menyiapkanya dengan sangat baik!”

“Insya allah. Terima kasih karena telah mendengarkanku.”

“Sama-sama. Kau tahu...”

“ya?” tanyanya agak penasaran.

“Aku pun di lamar.Minggu lalu. Dan aku belum tahu akan menjawab apa.”

“oh ya? Mengapa?”tanyanya semakin penasaran sekaligus heran dan bingung.

“Karena kamu, Gadis cantik.”

“Aku?”

“Ya. Kau tahu, aku bingung bukan main bagaimana aku bisa bertemu denganmu dan bagaimana harus bercerita padamu.”

“Aku di sini sekarang. Jadi, kau bisa menceritakannya.Jadi, siapa yang melamarmu?”tanyanya setengah meledekku. Tidak ada kesedihan yang sebelumnya ada di benaknya terlihat di wajahnya sekarang.

“Aku dilamar Mahameru.”

Ia terdiam.. juga tersenyum.
*

Bismillahirrohmanirrohim...

Aku ucapkan selamat padamu dari lubuk hati yang paling dalam.

Aku turut bahagia melihatmu bahagia di hari ini. Aku harap begitu.

Kau tau, sakit rasanya ketika harus mengucapkan selamat kepada kalian, di hadapan kalian, menyalami tangan kalian, hari ini. Ketika aku harus benar-benar melepaskanmu. Aku mohon maaf karena lancang sekali berkata seperti ini sedangkan kau sendiri sudah bersuami. Tapi aku masih mencintaimu. Dan mungkin, akan selalu mencintaimu sampai nanti.

Aku tidak tahu mengapa bisa begitu. Padahal sejak awal pun, kita tidak pernah sedikitpun berinteraksi. Namun, aku selalu menyukai setiap caramu. Dan aku masih memikirkan bagaimana aku bisa dengan bodohnya melewatkan masa SMA kita dengan begitu saja.

Tidak mengucapkan, “Hai!” kepadamu, barang sekali saja. Hah, penyesalan selalu datang terlambat.

Mungkin kau sudah mendengar darinya. Ketika aku melamarnya, aku pun ditolak. Sepertinya aku masih harus memperbaiki diriku. Dan kini aku pun tahu, bahwa aku sangat tidak pantas bersanding denganmu. Laki-laki yang berdiri di sampingmu lah yang sangat pantas.

Aku tidak meminta balasan darimu atas surat ini. Aku harap, setidaknya, aku masih bisa berbicara denganmu, Gadis Cantik. Untuk terakhir kalinya.

Sekali lagi, selamat. Kia tidak pernah tahu seperti apa jalan hidup kita. aku bahagia, semoga aku bisa menyusulmu. Terimakasih karena memberikan kenangan yang sedikit, tapi sungguh berkesan. Terima kasih atas tulisan-tulisan yang selama ini kau tulis dan kau simpan untukku. Aku sudah menerimanya.

Setidaknya, aku jadi lebih banyak tahu tentang dirimu. Hehe.

Salam,

Mahameru.
*

Aku rasa, aku sudah membuat keputusan yang tepat. Ketika Gadis Cantik menyuruhku untuk menerima Mahameru, karena ia senang jika melihat Mahameru bersamaku. Hatiku mengatakan tidak. Maafkan aku, gadis Cantik. Aku tidak sependapat denganmu. Aku mementingkan perasaanku.Aku tidak ingin kecewa.Dan aku bersyukur, Mahameru mau menerima jawabanku, begitu pula orangtuaku.

Oh iya, sebelum aku mengakhiri ceritaku yang panjang ini, biarkan aku menyampaikan surat yang diberikan Gadis Cantik untuk Mahameru, ya? Begini isi suratnya :

Terima Kasih.

Tuhan kita menyuruh kita untuk tetap saling menjaga silaturrahim, ya? Jadi, mengapa harus bilang untuk terkahir kalinya? kita bisa saling bertukar kabar kok.

Oh iya, aku sungguh sangat menantimu meraih kebahagiaanmu, juga menyusulku secepatnya. Ssst, aku juga mencintaimu. Jangan bilang-bilang ya!

Satu lagi, Mahameru itu... lelaki yang baik.

-selesai-



Selasa, Juli 29, 2014

Kisah seorang Guru dan Muridnya

Seorang sahabatku yang bernama Ramadhan menyampaikan suatu kisah di akhir masa kunjungnya di kotaku. Ia menyampaikan sebuah kisah yang bisa menghiburku ketika aku sedih bahwa ia akan kembali meninggalkan aku. Bahwa, katanya, masa berkunjungnya sudah habis. Namun, kali ini, ia menghadiahi aku sebuah cerita yang ia katakan, semoga cerita ini bisa menjadi teman yang bisa mengingatkanku akan kehadirannya tahun ini.
***
Suatu hari, seorang guru bersama empat orang muridnya sedang melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu. Kemudian mereka datang ke sebuah kota dan memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju masjid terdekat. Mereka beristirahat di sebuah taman kota yang pada saat itu sedang sepi akan pengunjung. Mungkin akibat cuaca panas dan musim kemarau. Mereka duduk tanpa ada percakapan sedikitpun di antara mereka. Rasa lelah yang menghampiri memang tidak bisa membohongi mereka untuk melepas penat mereka.

“Aku butuh hiburan.” Ujar murid pertama. Ia pun pamit kepada sang guru dan teman-temannya untuk sekedar mencari angin di sekitar taman. Sang guru mengizinkan.

“Aku ikut!” ujar murid yang kedua. Sang guru mengizinkan mereka untuk pergi. Dan karena dua muridnya pergi, sang guru justru menyuruh murid ketiga dan keempatnya untuk ikut pergi bersama mereka.

Murid ketiga dan keempat heran, mengapa mereka justru disuruh pergi sedangkan mereka tetap ingin tinggal di tempat. Sedikit kesal, namun karena mereka adalah seorang murid yang patuh, mereka menyusul teman-temannya dan meninggalkan guru mereka sendirian.

Keempat murid tersebut pergi menyusuri setiap sudut taman yang cukup luas itu. Mereka penasaran, mengapa taman ini begitu rapih dan bersih namun tidak ada seorang penjaga atau tukang kebun pun yang sedang bertugas semenjak mereka tiba di taman ini. Namun, baru saja rasa penasaran mereka itu muncul, jawabannya sudah terlihat jelas.

Mereka menemukan seorang tukang kebun yang sedang membersihkan bagian selatan taman tersebut. Mereka memerhatikan setiap detil yang tukang kebun itu kerjakan. Ia begitu menghayati pekerjaannya, begitu seriusnya, begitu tekunnya, seolah taman itu adalah miliknya yang harus ia jaga bersih.

Kemudian, sang murid pertama mendekati tukang kebun itu, namun tukang kebun itu tidak menyadarinya. Ia masih terus bekerja merawat dan membersihkan taman itu. Kemudian, murid ketiga berbisik pada teman-temannya,

“Tidakkah tukang kebun itu terlalu serius dalam mengerjakan tugasnya?”

“Ya” jawab, murid keempat.

“Aku ingin mengalihkan perhatiannya.”

“Bagaimana caranya?” tanya murid kedua

“Entahlah.” Murid ketiga teridam, ia memandang teman-temannya “tidakkah kita terlalu datar? Sesekali aku pun ingin  menjadi remaja lain yang bisa bertindak seenaknya. Haha. Kita sudah terlalu banyak bersikap baik.”

“Aku ragu akan itu.” Ucap murid kedua

“Sesekali kita bisa merasakan bahagianya berbuat jahil ke orang.”

Singkat cerita, mereka bertiga setuju dan memanggil murid pertama untuk bergabung bersama mereka. Mereka berbincang dan memutuskan untuk tetap menjahili tukang kebun itu. Murid ketiga kemudian mengambil sepatu milik tukang kebun yang diletakkan dia atas kursi taman itu untuk disembunyikan. Namun sayang, tidak ada tempat yang bagus untuk menyembunyikan sepatu itu karena di taman ini, tidak ada suatu rumput atau tanaman rimbun pun untuk menyembunyikannya.

Murid kedua, akhirnya memberi ide untuk memasukkan batu-batu kerikil yang mereka kumpulkan selama perjalanan mereka ke dalam sepatu milik tukang kebun tersebut.

Mereka terkikik membayangkan bagaimana reaksi dari tukang kebun tersebut ketika memasukkan kakiknya ke dalam sepatunya itu dan mendapati batu kerikil yang membuat sakit kaki. Mereka tidak sadar, bahwa guru mereka telah berdiri di belakang mereka.

“Aku mendengar setiap percakapan kalian.”

Keempat murid itu terdiam.

“Tegakah kalian melihat tukang kebun itu merasa kesakitan? Meskipun rasa sakitnya tidak seperti tertusuk jarum.”

“Kami hanya ingin hiburan.” Ucap murid ketiga

“Aku paham itu.”

“Tegakah guru untuk tidak melihat senyum dan tawa tersungging di wajah kami?”

“Aku tidak tega.”

“Lalu kenapa...”

“Aku tidak ingat bahwa agama kita pernah mengajarkan kita untuk tertawa di atas penderitaan orang lain”

“Tapi tukang kebun itu tidak menderita.”

“Siapa yang tahu? Bagaimana kau tau bahwa ia tidak sedang kenapa-kenapa?”

Tidak ada yang jawab.

“Tidakkah kalian bayangkan... semisal, kalian mengubah batu-batu kerikil menjadi beberapa lembar uang kalian?”

Keempat murid tersebut bingung. Bagaimana mungkin mereka mendapat kebahagiaan dengan mengorbankan benda berharga mereka?

“Coba kalian bayangkan bagaimana tukang kebun itu merasa bahagia melihat uang yang kalian berikan untuknya, meskipun itu jumlahnya sedikit. Dan betapa bahagianya kalian melihat ia bahagia.”

Mereka terdiam.

“Aku berbicara seperti ini karena aku pernah mengalaminya. Percayalah.” Kemudian sang guru pergi meninggalkan keempat muridnya.

Keempat murid tersebut mencoba mengikuti saran guru mereka, karena mereka tahu, guru mereka tidak pernah salah dalam memberikan saran bagi mereka. Mereka menyisipkan setiap lembar dari uang yang mereka miliki untuk kemudian diletakkan di dalam sepatu tukang kebun itu dan pergi menemui guru mereka.

Singkat cerita, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju masjid terdekat. Mereka menunaikan shalat ashar dan beristirahat di beranda kanan masjid. Beberapa waktu berlalu dan tibalah seorang lelaki paruh baya yang merupakan tukang kebun yang beberapa jam lalu mereka temui di taman kota masuk ke dalam masjid.

Tukang kebun itu segera membasuh wajahnya dan mengerjakan shalat. Aneh, karena tukang kebun itu menangis sesenggukan sewaktu shalat. Sang guru dan keempat muridnya tanpa sadar memerhatikan tukang kebun itu. Hingga ia selesai shalat dan ia berdoa kepada Allah, Tuhan mereka yang Maha Agung.

Tukang kebun itu berterima kasih kepada Allah dengan isak tangisnya yang begitu haru, begitu senang, saking senangnya karena ia tidak tahu lagi bagaimana bisa ia mengucapkan rasa terimakasihnya kepada Allah SWT. Ia berterima kasih, karena di saat ia sedang kepayahan, kesulitan mencari uang untuk membiayai pengobatan istrinya. Tanpa ia duga, ia mendapatkan uang untuk di bawa pulang.

Empat murid itu terpana melihat pemandangan si tukang kebun. Mereka tidak menyangka, perbuatan mereka begitu menolong si tukang kebun. Dan saat itu mereka pun sadar, bagaimana malangnya nasib si tukang kebun apabila mereka meletakkan batu kerikil di sepatunya. Ia kelelahan, ia kehausan, dan ia sedang bingung mengenai keadaan istrinya, bagaimana kalau ditambah batu kerikil yang cukup membuatnya berteriak ‘AUW’ dan sungguh saat itu, keempat murid tersebut langsung menitikkan air matanya. Ia meminta maaf kepada Allah sekaligus berterima kasih karena masih dijaga dari pebuatan yang memalukan itu.

Si tukang kebun menoleh dan memandang mereka. Spontan, ia tersenyum kepada mereka. Dan bayangkan, betapa ikhlas senyum si tukang kebun itu membuat sang guru dan keempat muridnya menjad trenyuh hatinya.

Si tukang kebun pamit dan beranjak pulang untuk membawa istrinya berobat. Sang guru pun tersenyum senang kepada murid-muridnya

“Jadi, anak-anakku. Lebih bahagia mana melihat si tukang kebun itu menderita atau tersenyum bahagia seperti tadi?”
***

Kini, Ramadhan akan segera pergi meninggalkanku. Tapi, kisah itu mengajarkanku satu hal. Banyak pilihan yang bisa kita lakukan untuk membahagiakan diri kita, semua bergantung pada kita untuk mengambil pilihannya. Aku, memilih untuk berbagi kebahagiaan yang aku punya. Karena sungguh, egois sekali jika kita mementingkan kebahagiaan kita namun kita tidak bisa melihat bagaimana orang lain sangat tersiksa akibat itu.

Untukmu di sana, sungguh.. aku ingin melihatmu bahagia. Aku ingin menjadi seseorang yang juga merasakan kebahagiaan dari kebahagiaanmu. Jika setiap keputusan yang telah kau buat memang membuatmu bahagia, dan meski itu bukan sesuatu yang aku inginkan. Sekali lagi, aku ingin mengatakan, bahwa aku ingin ikut bahagia bersamamu. Bila bonus menghampiriku, aku ingin menjadi orang pertama yang kau tularkan rasa bahagiamu itu.

Terimakasih Ramadhan. Aku akan sangat merindukanmu.

-selesai-

NB : cerita ini didedikasikan untuk OT. Tulisan ini (mungkin) gak sebagus cerita-cerita di luar sana. tapi semoga bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Sekali lagi, selamat ya! 

Rabu, Maret 12, 2014

Saat Ibu Menangis

Anak perempuan itu memerhatikan ibunya. Selalu. Setiap malam, ia terbangun, mendengar isak tangis ibunya. Hal itu terjadi selama berbulan-bulan.

Suatu malam, seperti biasanya, ia tidak sengaja terbangun mendengar sebuah suara. Namun kali ini, ia tidak mendapati ibunya dalam pakaian putih dan menangis, ia tidak mendapati ibunya berada satu ruangan dengannya.

Anak perempuan itu heran, namun senang karena ibunya tidak lagi menangis karenanya. Ia tidak berusaha mencari tahu suara itu kemudian kembali tidur dengan perasaan lega. Selama ini ia tidak pernah berani bertanya pada ibunya. Ia terlalu takut, Ibunya bahkan menangis karenanya, dan ia masih saja bertanya?

Sehingga tanpa disadari oleh sang Ibu, Anak perempuan itu selalu berdoa pada Allah dalam setiap salatnya, begini kira-kira isi doanya, “Ya Allah, Rani minta maaf karena  Rani selalu membuat Ibu menangis setiap malam, tapi Rani janji Ya Allah, Rani akan jadi anak yang baik agar suatu hari nanti, Ibu tidak menangis lagi karena Rani.”

Malam ini, doanya ternyata dikabulkan oleh Allah.

Tetapi, di malam-malam selanjutnya, Ibunya masih saja menangis, dan terus menangis dengan menyebut-nyebut namanya. Rani kembali sedih. Ia terus-menerus berdoa kepada Allah agar  dijadikan anak yang salehah. Rani berusaha untuk selalu membantu Ibunya setiap hari, meringankan beban Ibunya dan menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh orang tuanya, khususnya Ibunya. Doa itu diketahui oleh ayah-bundanya.

Sampai ketika ia dewasa dan meninggalkan orangtuanya untuk menuntut ilmu.

Rani berhasil melakukannya.

Suatu hari di upacara wisudanya, Rani menjadi salah satu lulusan terbaik kampusnya, namun ia sedih lantaran ibundanya tidak bisa menghadiri upacara wisudanya. Ya, Ibundanya telah menghadap kepada Allah SWT, tinggal ayahnya saja yang menemaninya. Meskipun demikian, Rani senang bukan kepalang. Ia berhasil membanggakan ayahnya di hadapan petinggi-petinggi universitasnya.

Sesampainya di rumah, ayahnya memanggil Rani, mereka mengobrol sebentar,“Dulu, Ayah dan Ibu selalu mendengar doa Rani kepada Allah,” ucap ayahnya, membuat Rani sedikit malu.

“Rani tahu nggak, bukan doa Rani saja yang dikabulkan oleh Allah, pun doa ibu.

“Rani tahu, setiap malam Ibu menangis karena Ibu selalu berdoa agar Allah selalu melindungi Rani, melindungi kita sekeluarga dan menjadikan Rani anak yang salehah.”

Sekarang, Rani tahu alasan mengapa dahulu, Ibunya sering menangis setiap malam.

Selasa, Desember 31, 2013

My Own 2013

Mari kita review sejenak tentang apa yang sudah kita semua lewati pada tahun 2013 ini. Khususnya untuk diri saya sendiri.

Setahun yang lalu, saya masih berumur 17 tahun. Masih menjadi siswi SMA yang mempunyai cita-cita setinggi langit. Masih sibuk main, menikmati kebersamaan dengan teman-teman, dan galau ini-itu (sepertinya memang masih sampai sekrang juga ya hehe) oh iya, galau universitas juga. Gak kalah juga dari hebohnya anak SMA, yang selalu membesarkan segala sesuatu, dulu pas mau UAS ganjil, kita semua masih berkutat dengan tugas-tugas pelajaran yang mendadak ngantri minta diselesaikan dengan segera (--“), terutama ICT, kemudian Batik dan sebagainya. Padahal kalau dijalani, toh hasilnya sama-sama aja kan yah? Bakal selesai juga hehe. Kemudian ketika UN sudah mulai dekat, segala persiapan -yang sebenarnya telat banget- mulai dipersiapkan (?), try out segala macem, oh iya, gak ketinggalan, try out SBMPTN juga mulai banyak bertebaran. Yang pada akhirnya tidak ada hasilnya untuk diri saya.

Gak adil ya saya bicara seperti itu? Tapi memang itulah yang terjadi pada saya, tapi toh pada masa itu saya tidak mengetahuinya sama sekali kan. Oh iya, tapi kata orang “Tidak ada hal yang sia-sia” tentang apapun yang telah kamu alami.

Sesungguhnya, terkadang saya merindukan semua hal itu, masa SMA itu. Yang gak kalah penting pada masa itu adalah, saya masih menginginkan untuk menjadi seorang dokter yang merupakan cita-cita saya sedari kecil. Dan dulu, tidak pernah terpikirkan oleh saya juga, bahwa almamater saya yang sekarang adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

Jujur sekali, saya sudah mengikhlaskan apa yang menjadi cita-cita saya dulu. Sudah bisa menerima bahwa ‘cita-cita saya sedari dulu’ bukanlah jalan saya. Namun, yang saya mau tekankan di sini adalah bahwa tidak mudah melewati semua ini. Tidak mudah melepaskan impian yang sudah kamu bangun sejak kecil ditambah dukungan orangtuamu juga, hanya dalam waktu singkat. Juga tidak mudah tidak mendengarkan apa kata orang lain. Seriously.

Tapi tidak ada yang salah atas semua ini, ini murni kesalahan saya. Saya akui itu.

Segala macam gelisah dan pertanyaan muncul dalam benak saya pada saat itu, mau menyalahkan keadaan juga percuma, tidak bisa merubah fakta yang telah terjadi. Mengubah takdir juga gak bisa. Menyalahkan oranglain? Ya ampun, hanya anak kecil yang melakukan hal seperti itu.

Disitulah letak ujian keikhlasan kita. Saya yakin, tidak hanya saya yang mengalami masalah ini, Tuhan tidak pernah memberikan ujian diluar batas kemampuan kita. Kita semua tahu hal itu, kitanya saja yang membesar-besarkan. Dan itu yang saya lakukan pada saat itu. Padahal yang kita butuhkan adalah sabar.

“Bahwa hidup adalah menerima, penerimaan yang ikhlas.”

Saya ingin berbicara padamu wahai yang membaca tulisan ini, Kalau Tuhan sudah berkendak dan itu bukanlah sesuatu yang kamu inginkan, maka Tuhan sudah memunyai cerita yang indah di suatu hari nanti. Yang mungkin tidak kamu sadari saat ini. Kalau Tuhan saja membiarkan hal ini terjadi padamu, percayalah itu adalah yang terbaik untukmu. Saya pun begitu, sampai sekarang saya masih belum tau apa tujuan Allah SWT. kepada saya, namun saya sudah sedikit merasakan manfaatnya, untuk saya, keluarga saya dan juga orang-orang di sekitar saya.

Sewaktu SMA –tepatnya setelah UN selesai- saya berpikir, ‘Akhirnya perjuangan kita selesai juga!’ tapi ternyata saya salah, justru.. perjuangan hidup sebenarnya adalah dimulai setelah itu. Mencari sekolah baru untuk dijadikan tempat belajar buat kita bener-bener susah lho.

Sekali penolakan gak masalah, tetapi beberapa kali penolakan itu baru masalah yang membuat kita khawatir (banget!). Tapi saya senang kok. Mengikuti beberapa kali ujian masuk perguruan tinggi itu pengalaman yang gak bisa ditukar dengan harga murah. Kenapa saya bilang kayak gitu? Karena banyak manfaat yang baru-baru ini saya sadari, kenangan yang gak bisa kita ulang kembali dengan teman, waktu dan tempat yang sama.

Hidup ini bukan seribet perdebatan kata “mafhum”atau “mahfum”.
 
Hidup ini juga tidak seribet penjelasan maksud “ Toh nenek sekarang juga gak ada di kosan.”

Bukan juga soal “Cepat sembuh ya teman-teman!”

Bukan juga soal “Maaf, Anda belum....”

Hidup ini juga bukan sesuatu yang kamu inginkan, lalu kamu mendapatkannya begitu saja, meskipun kamu memang harus membuat rencana-rencana yang kamu ingin wujudkan.

Hidup ini juga bukan seperti air yang mengalir, yang semakin lama akan semakin jatuh dan berakhir menggenang di got.

Tapi, hidup ini adalah belajar. Belajar mencari sesuatu yang tidak kamu tahu sehingga kamu tahu, belajar untuk membuat pilihan yang terkadang itu seperti hidup dan mati bagimu. Belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru. Belajar untuk menerima dengan ikhlas apa yang menjadi harapanmu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.

Guru saya sewaktu SMA pernah mengatakan, kira-kira begini “Kalau kalian berhenti belajar. Itu sama artinya dengan kalian mati. Karena hidup adalah belajar.”

Hidup adalah belajar. Iya, kita selalu belajar untuk berpindah. Belajar untuk berpindah dari suatu masa ke masa berikutnya. Berpindah dari yang tidak tahu jadi yang tahu. Berpindah dari kota sendiri ke kota orang lain. Berpindah dari yang tadinya anak mamih, jadi anak kos (-_-“). Berpindah keinginan dari kampus kuning ke kampus Ali Wardhana. Berpindah dari yang awalnya bersikap kekanak-kanakkan menjadi seorang yang dewasa.

Berpindah dari satu hati ke hati yang lain? Mm.. bisa jadi.

Setuju kan? Hehe

2013 banyak memberikan sesuatu yang baru untuk saya dan kamu –yang membaca tulisan saya ini-

Bukan sesuatu yang benar-benar baru kita kenal, tetapi sesuatu yang awalnya tidak kau sadari, kemudian kau belajar dan mendapat hikmahnya.

Ketika suatu ujian menghampiri hubungan pertemanan kita, ketika dua orang teman menyakiti hati saya, lantas pertemanan kita mau selesai begitu saja? Itu sih terserah. Tergantung pribadi masing-masing. Apakah egomu lebih besar dari rasa sayangmu? Tepatnya itu sih yang jadi kunci utama yang menentukan akhir cerita.
Bagaimana kita belajar memaafkan dan menerima kekurangan teman. Karena sejatinya, selalu, selalu ada kekurangan pada diri teman kita yang tidak bisa kita ubah, tetapi hanya bisa kita terima dengan sabar.

Kemudian hidup di lingkungan berbeda, kota berbeda, dengan orang-orang yang sebagian besar baru untuk kita. Oh iya, sekolah baru. (btw, saya menyebut sekolah, karena nama universitas saya pun Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Mendapat teman baru dari berbagai perbedaan SARA dan bagaimana kita saling memahami dan berbagi pengetahuan satu sama lain. Bagaimana kita menghargai dan menyayangi satu sama lain. Bagaiamana kita menjaga solidaritas dan saling membantu dalam belajar. Bagaimana ketika saya yang tidak terlalu suka terikat dengan aturan-aturan yang menyebalkan (sekadar informasi, orang-orang golongan darah B memang seperti itu) terpengarah mendengar kata-kata ini:

“Patuh itu bukan berarti rendah diri. Patuh itu mencerminkan kebesaran hati.”

Begitu sederhananya arti dari sebuah kepatuhan.

Dan itu semua.. baru di tahun ini saya merasakannya. hehe

Di tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk sok tahu, sok dewasa, sok curhat atau apapun itu, saya hanya ingin berbagi pengalaman, berbagi cerita saya selama tahun 2013, mencoba untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam kepala dan hati saya, yang menjadi pendapat saya. Karena tidak ada pendapat yang salah.

Jadi sekarang saya tanya, mana pendapatmu? 

Senin, Oktober 21, 2013

After 13 Hours

Everything goes change, ya?

Kata-kata itu meluncur begitu saja di benak-ku ketika aku mulai bangun dan tersadar di mana aku berada. Ruangan yang masih sama. Penerangan yang masih sama. Suasana yang masih sama dengan perabotan yang tertata sama persis seperti ketika aku pertama kali masuk ke sini. Tidak ada yang berubah, kecuali mungkin kondisiku yang semakin... membaik?

Kamarku kosong. Tidak ada yang menunggu atau mengunjungi sama sekali. Bahkan kedua orang tuaku dan adikku. Mungkin mereka sedang pulang untuk istirahat sebentar baru kembali lagi ke sini, atau mungkin jam jenguk rumah sakit sudah tutup dan seluruh perawat  juga dokter sedang beristirahat? Karena sudah kira-kira 10 menit sejak aku terbangun, tidak ada sedikitpun suara gaduh rumah sakit atau suara percakapan yang terdengar. Benar-benar sunyi.

Aku menoleh, ingin mengambil segelas air putih yang telah disediakan, karena sungguh, tenggorokanku terasa kering sekali sampai-sampai untuk menelan ludah pun rasanya sulit. Aku bergerak perlahan, menaikkan badanku agar bisa duduk kemudian mengambil segelas air putih yang berada di meja sebelah tempat tidur. Rasa sakit sedikit mencuat begitu aku berhasil menyandarkan punggungku pada bantal. Aku tidak begitu mempedulikannya karena satu yang aku tahu. Itu artinya aku sudah pulih. Bukan dalam arti sehat walafiat sih, tapi, pendarahan yang terjadi di dalam ususku sudah dibersihkan. Operasinya berjalan lancar.

Namun demikian, justru rasa lelah yang sangat terasa adalah di kedua kakiku. Rasanya seperti aku telah berlari ribuan kilometer dalam waktu beberapa jam terakhir. Padahal, sudah hampir 2 hari aku tidak makan nasi. Dan aku tidak melakukan akitivitas yang benar-benar menguras tenaga sehari sebelum aku melakukan operasi.

Tapi.. entah mengapa, aku merasa.. merasa.. baru melakukan banyak hal baru-baru ini. Aku juga tidak sepenuhnya yakin sih, karena yang aku ingat. Aku benar-benar istirahat total beberapa hari terakhir ini. Tapi, ketika aku berpikir, menimbang-nimbang, mencari tahu apapun yang bisa aku pikirkan. Aku mengingat seseorang. Seorang laki-laki. Tapi jelas itu bukanlah adikku. Seorang laki-laki berkulit putih, berperawakan tinggi, tegap, memakai kaos berwarna biru dongker dengan jin dan sepatu kets hitam.

Aku berusaha mengingat, ralat, tepatnya memikirkan bagaimana wajahnya, rupanya, memikirkan dan menangkap semua imajinasi yang ada di kepalaku ketika pintu kamarku berbunyi menandakan seseorang sedang mengetuk pintunya dan seseorang masuk ke dalam kamar. Saat itu juga aku langsung melongo.
Dia laki-laki yang baru saja ada di dalam kepalaku.

*

Bedanya, laki-laki itu memakai kemeja biru muda, celana bahan berwarna hitam dan sepatu serta jas putih yang mencirikan bahwa ia adalah seorang dokter. Apakah ia dokter yang menanganiku saat operasi?
Jawabannya adalah tidak. Aku ingat betul bahwa dokter yang menanganiku adalah perempuan.
Dokter Song Hye Kyo. Aku bahkan ingat namanya kan? Jadi jelas kalau aku tidak hilang ingatan. Atau ia asisten dari dokter Song Hye Kyo? Masa, sih?

Tapi penampilannya tidak mengindikasikan bahwa ia adalah seorang asisten, melainkan seorang dokter profesional. Lalu, bagaimana bisa ia menjadi orang yang aku pikirkan barusan?

Sementara semua ocehan itu berkelebat di benakku. Dokter itu menghampiriku. Tersenyum padaku. Memeriksa kondisiku. Hingga ke denyut nadiku.

Sial. Bisa-bisa aku salah tingkah kalau begini. Masalahnya adalah, diantara kami berdua tidak sedikitpun ada percakapan sampai.. sampai.. ketika ia berkata,
“Nah, Min Young-ssi. Bagaimana tidurmu?”

*

Seolah dibius oleh perkataannya, aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Bukan melantur ke mana-mana maksudnya, tapi entah mengapa, aku seperti ditarik masuk ke matanya, semakin dalam-dalam sampai-sampai aku berpindah ke sebuah tempat, melewati mesin waktu yang membuat kepalaku sedikit pening karena berputar-putar kemudian dihempaskan ke suatu tempat.

Sayangnya.. itu bukan hanya pikiranku belaka. Sekarang aku bukan lagi di kamar rumah sakitku, tidak ada dokter itu, tidak ada ketenangan yang semula menemaniku.

Aku terbaring, tergeletak dengan pakaian seadanya di sebuah tempat yang sangat ramai (Aku berpikir bahwa itu adalah semacam tempat hiburan), badanku pegal-pegal seperti habis dihempaskan begitu saja. Pakaianku yang sekarang bukanlah pakaian rumah sakit tadi. Sedikit copang-camping, kotor deh pokoknya. Orang-orang mulai menatapku. Ada yang kasihan, ada yang jijik, ada yang terheran-heran mengapa seorang gadis berusia 23 tahun memakai pakaian tidur dan kumal ada di tempat seperti ini. Rambutku benar-benar acak-acakan (serius, meski aku tidak punya cermin, aku yakin, aku seperti orang gila yang tersesat) membuat semakin banyak orang memerhatikan aku.

Namun, alih-alih segera bergegas pergi mencari toilet, aku malah diam, menatap balik orang-orang yang menatapku, mencoba mencari fokus pandanganku yang sedikit agak kabur. Kemudian aku melihat-lihat, mencari seseorang yang bisa aku mintai tolong untuk segera membawaku kabur dari sini, dan yang kudapatkan adalah seorang petugas yang setengah berlari menghampiriku.

Mati aku.

Aku pasti benar-benar dikira orang gila.

Tapi kepalaku tidak bisa diajak bekerja sama.

Aku tidak bisa lari.

Tidak bisa menggerakkan sedikitpun kakiku.

Dan ketika dua petugas itu sudah berada di depanku, alih-alih menyuruhku pergi karena sudah salah tempat, mengira aku adalah orang gila. Faktanya adalah mereka berdua justru mengkhawatirkan aku. Meskipun seharusnya aku segera menjawab pertanyaannya, meminta mereka membawaku ke rumah sakit atau klinik terdekat, aku terdiam hingga seseorang kemudian mendatangiku.

Iya orang yang tadi. Dokter itu.

“Tidak apa-apa. Dia pacarku.”

Dan ia menggamit kedua tanganku. Seketika itu pula, kedua petugas itu tiba-tiba mengabur, menjadi tidak dikenali, sekelilingku  menjadi sunyi, orang-orang menghilang dan segalanya mendadak menjadi gelap perlahan-lahan. Kemudian hilang. Hitam. Gelap. Aku berada di kegelapan. Tidak ada cahaya sedikitpun. Tidak ada ruangan. Tidak ada apapun. Bahkan rasanya tidak ada udara yang bisa aku hirup. Namun aku masih bisa bernapas. Aneh memang.

Kali ini, aku merasa sendirian. Merasa ditinggal. Sedikit merasa takut tetapi kemudian sadar bahwa ini tidak nyata, aku sekonyong-konyong mencari jalan keluar. Berjalan menyusuri kegelapan, berharap menemukan tembok kemudian pintu agar aku bisa segera keluar. Aku bergerak perlahan, menapaki lantai yang menjadi pijakanku dengan hati-hati, dan ketika mendapati bahwa semua aman, aku segera mempercepat langkahku seraya mengulurkan kedua tanganku untuk meraba-raba. Namun sewaktu aku mempercepat langkahku, semakin mempercepat langkahku, aku semakin panik lantaran tidak kunjung menemukan dinding. Ini berarti, ruangan ini tidak berujung. Dan pemikiran itu sungguh membuatku takut, kemudian aku memutuskan untuk membelok arah pandanganku yang semula ke depan mejadi ke samping kanan. Dan seketika itu juga aku menemukan secercah cahaya. Sangat kecil, tapi cukup membuat aku menyunggingkan senyum.

Seolah tidak ingin kehilangan cahaya itu, aku langsung berlari cepatnya menuju lubang kecil itu. Lari dan lari, dan sedetik kemudian aku terjerembap, masuk ke dalam lantai dan kemudian aku jatuh. Gagal. Tidak bisa meraih cahaya itu. Kini, aku tidak tahu lagi harus bagaimana.

Namun pemikiran itu hilang begitu saja ketika aku berada di sebuah kafe, setidaknya begitu sih yang aku tahu begitu melihat plang yang ada di atas pintu tempat aku berdiri. Rasanya begitu aneh karena kakiku seakan goyah akibat jatuh yang baru saja aku alami. Alih-alih mendapati pakaianku yang robek di sana-sini, kini aku melihat bayanganku, replikaku di dalam pintu yang terbuat dari kaca itu, aku melihat sesosok gadis cantik memakai gaun selutut berwarna kuning dari satin yang membuatnya seolah berkilap, dengan lengan sedikit terbuka, rambutku digelung sebagian dengan pita bunga besar berwarna hitam menempel di kepalaku dan sepatu wedges berwarna sama dengan pitaku itu. Dengan tas kecil berwarna putih-emas. Praktis membuatku terlihat sederhana tapi sungguh berkelas.

Aku bingung harus bagaimana. Instingku berkata untuk aku masuk ke dalam kafe itu, jadi aku putuskan untuk mengikutinya saja ditambah seorang waitress memang menghampiriku untuk mengajakku masuk.

“Silahkan, seseorang sudah menunggu Anda sedari tadi.” Begitu kata waitress itu ketika aku dan dia bertemu dan masuk ke dalam kafe itu.

Aku mengiyakan saja apa yang diucapkan waitress itu karena aku sama sekali tidak mengerti.  Dan begitu iya mengantarkanku ke meja yang dimaksud. Sadarlah aku bahwa seseorang memang sedang menungguku. 

Tapi, siapa?

Ternyata orang yang sama.

Yang ada di taman hiburan.

Yang mengaku-aku sebagai pacarku.

Laki-laki tampan yang jujur saja tidak membuatku menyesal memasuki kafe ini.

“Silahkan” kata waitress itu.

Aku tersenyum ketika ia mulai meninggalkan kami. Kemudian pandanganku beralih dari waitress itu menuju laki-laki yang ada di depanku. Ia tersenyum hangat padaku, seolah aku adalah seseorang yang sangat ia tunggu, yang sangat penting baginya, yang sungguh, harus kuakui senyumnya sangat memesona dan membuatku melongo dan meleleh seketika. Aku tidak tahu siapa dia, tapi jelas saja.. dia seseorang yang sangat spesial.

Meskipun aku sangat ingin menyapanya, sangat ingin mengajaknya berbicara, mengobrol dan melupakan semua orang yang ada di sekeliling kami, aku hanya bisa berkata,

“Siapa kau?”

“Aku? Aku Lee Donghae. Senang mengenalmu.”

“Ah begitu. Senang mengenalmu juga. Tapi maksudku.. aku tidak mengerti kenapa, tapi sedari tadi, kau selalu ada di mana pun aku berada.

“Masa, sih?”

“Lalu kenapa kau bisa ada di sini?” aku kembali bertanya, tidak puas dengan ucapannya itu.

“Aku juga tidak tahu. Bisakah kau berhenti bertanya? Sungguh. Nikmati dulu saja yang ada saat ini.” Aku terdiam. Sedikit malu karena ia bisa membaca ekspresiku. Jadi kuputuskan untuk diam, tidak berbicara apa-apa dan membiarkan dirinya yang memegang kendali percakapan.

“Kau adalah pacarku. Itu benar. Dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Setidaknya di sini. Oh iya, kau cantik sekali memakai gaun itu. Apa kau yang mendesainnya?”

Pacar? Lagi-lagi ia menyebutnya. Aku bahagia tetapi sekaligus merasa ganjil. Maksudku, kau tahu kan,  kenapa tiba-tiba laki-laki yang begitu tampan mengaku-ngaku sebagai pacarku? Tapi jika memang benar ia pacarku, maka aku akan menurutinya saa. Membenarkannya begitu saja.

“Tidak. Tidak tahu maksudnya, tapi aku cukup menyukai gaun ini.”

Dia mengangguk. Sebentar kemudian, seorang waiter mengahampiri meja kami dan memberikan secangkir minuman untuk kami berdua. Seolah mengerti maksud dan keinginanku, kafe itu tiba-tiba menyetel musik instrumental yang lembut menemani kami berdua.

“Terima kasih.” Ucap pacarku dan menyelipkan beberapa lmbar uang di saku waiter itu.

Seperti biasa.

“Aku ingin meminta bantuanmu, MinYoung-ssi. Bolehkah?”

“Bantuan? Kalau memang aku bisa, aku akan membantumu.”

“Kau pasti bisa. Yah, diminum dulu, kalau dingin nanti gak enak.”

Aku menatapnya. Dan ia menatapku balik. Kalau boleh aku bilang, tatapannya begitu dalam, begitu intim, begitu sedih, seolah ada banyak beban yang sedang ia hadapi, dan ia begitu menginginkan aku. Tapi, raut wajah itu hanya bertahan sebentar dan ia kembali seperti biasa. Keren.

Itulah yang aku lihat dari wajahnya.

Tidak mau mengecewakannya, aku serta merta langsung mengambil cangkir di depanku dan meneguk isinya perlahan, berusaha menikatinya padahal pikiranku masih saja ada padanya.

Namun, selagi aku menikmati minumanku, pandanganku terhadapnya mulai kabur dan kabur. Aku panik, alih-alih menaruh kembali cangkirku, aku justru menjatuhkannya. Menghempaskannya dan mencari-cari tangannya. Tapi terlambat, pacarku menghilang entah ke mana. Kafe mulai hilang dan semuanya kembali gelap.

Tidak ada cahaya lagi. Aku kembali terjebak ke ruangan kosong ini lagi.

Sial.

Harusnya aku tidak percaya begitu saja pada Lee Donghae.

Pacar? Apanya yang pacar!

Ia meninggalkanku lagi seperti tadi.

Aku menutup wajahku. Aku tahu tidak ada bedanya ketika aku membuka wajahku ataupun menutupnya. Sama-sama gelap. Tapi bukan itu. Aku kesal sekali. Meskipun demikian, aku harus meredam amarahku dan bergerak terus untuk bisa keluar dari sini. Tapi, bagaimana?

Karena ketika aku keluar sebelumnya pun itu bukan sesuatu hal yang kurencanakan, melainkan suatu ketidaksengajaan. Aku mendesah pelan, tahu bahwa tidak ada gunanya berpikir seperti ini. Jadi kuputuskan untuk membuka mataku dan terus mencari cahaya, seperti yang aku lakukan sebelumnya.

Namun begitu aku membuka mataku. Aku benar-benar tercengang. Aku berada di sebuah atap gedung setinggi... aku tidak yakin berapa tingginya, yang jelas tinggi sekali dan di depanku, di sekitarku, gedung-gedung pencakar langit berkumpul. Aku berada di salah satu kota besar di dunia sepertinya.
Aku menoleh dan mendapati Lee Donghae di sampingku. Hah! Dia lagi.

“Hai” sapanya.

“Kita di mana?”

“Los Angeles.”

“Apa? Oh baguslah. Aku ingin sekali ke sini sedari dulu.”

Aku baru saja hendak mau berdiri dan menikmati langit cerah Los Angeles, melihat-lihat bagaimana Los Angeles ketika Lee Donghae, yang katanya pacarku itu, menarikku kembali ke bawah dan menahanku dengan keras. Aku merintih pelan, sakit karena cengkraman tangannya yang begitu kuat dan mendadak.

Ia berdecak pelan, seolah menyalahkanku, “Kau ini..” namun belum sempat menyelesaikan ucapannya, kami berdua dikejutkan oleh suara ledakan kecil tepat di depan kami. Aku terperanjat, refleks ingin berteriak yang kemudian ditahan oleh Donghae.

Aku berpaling, melihat bekas ledakan itu dan disusul oleh satu dentuman lagi yang membuatku takut sekaligus marah juga.

“Pegang ini. Kau tahu, sekarang kita sedang ditembaki musuh! Dan itu semua gara-gara kau! Harrusnya tadi kau tidak berdiri sehingga mereka tau posisi kita saat ini.”

Donghae, menarikku, membawaku ikut bersamanya. Pergi mengnedap-endap dari musuh. Sekarang, aku baru sadar. Aku bahkan sedang memakai pakaian serba hitam dengan jaket kulit merek terkenal dan.. tunggu sebentar. Aku bahkan memakai baju anti peluru. Begitu pula Donghae.

Bodoh! Aku merutuki diriku sendiri.

Aku menolak ajakan Donghae untuk kabur. Tahu bahwa ini tidak nyata, Aku menarik lepas tanganku dan berbalik. Aku melirik ke atas sedikit, dan begitu mengetahui posisi musuhku, aku mengambil senjata yang ternyata sedari tadi sudah berada di punggungku. Membidiknya.

Satu.. dua.. tiga.. empat.. lima.

Ada 5 orang di sana, 3 orang sedang menembaki kami dan 2 orang lainnya.. aku tidak yakin sedang apa. Aku melirik Donghae, dan ia menggelengkan kepala.

Tidak butuh 5 detik, entah bagaimana caranya, karena aku tidak pernah memegang senjata sebelumnya, aku membidik mereka. Persis di kepala. Aku menaruh di depan, meletakkan gagang senapan di dadaku, dan menarik pelatuknya.

Gotcha!

Aku berhasil menjatuhan lawanku. Dan aku mengulangi hal yang sama untuk dua orang lainnya sedangkan Donghae membereskan sisanya.

“Terima kasih” ucapnya. Aku hanya membalas ucapannya dengan senyumku. Puas dengan kinerjaku.

“Jadi, sekarang bisakah kita melihat-lihat langit Los Angeles sebentar saja?” ucapku.

“Tidak. Kita harus pergi.”

Kemudian semuanya kembali kabur. Mulai dari Donghae. Awan, bangunan, musuhku dan sekelilingku kembali kabur. Bedanya, aku tidak kembali lagi ke ruang kosong yang gelap itu. Kini semuanya berubah drastis menjadi sangat panas, yang saking panasnya membuatku langsung berkeringat.

Pakaianku pun berubah. Kini aku hanya memakai kaos katun berlengan pendek dengan jins dan sepatu bot. Aku berada.. di mana ya? Rasa-rasanya seperti berada di kota kelahiranku sendiri, Seoul.

“Tidak. Kita di Tokyo.”

Lagi-lagi ia bisa membaca pikiranku.

Aku memberengut. Sebal karena seolah aku menjadi bonekanya. Seolah aku tidak punya privasi sama sekali di sini.

“Hahaha. Gak usah khawatir, Cuma sebentar kok. Setelah ini selesai, privasimu akan menjadi sepenuhnya milikmu. Kan tadi kau sendiri yang bilang ingin membantuku?”

Ck!

“Tapi kan aku gak bilang ‘iya’”

“Kau bilang kau akan membantuku kalau kau bisa. Dan aku yakin kau bisa.”

Oh iya ya..

Aku hanya diam. Membenarkan perkataannya. Tapi aku pun tidak bisa menolak permintaannya. Entah kenapa.

“Oke kalau memang begitu. Lalu, sekarang kita mau apa di Tokyo?”

“Ikut aku.”

*

Lee Donghae menggenggam tanganku, membawaku pergi lagi dari Tokyo. Aku sama sekali tidak mengerti, bahkan ketika 5 detik berlalu aku berada di Tokyo. Tidak bisakah kami jalan-jalan sebentar? Menikmati Tokyo barangkali?

Ish. Menyebalkan.

Tapi mungkin tidak ada gunanya aku mengeluh seperti ini padanya. Toh, tidak akan dihiraukan juga.  Jadi, lebih baik sekarang aku mengikutinya, berdiam diri dan pasrah akan di bawa ke mana. Kami seperti melewati dimensi waktu yang cepat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang jujur saja membuat aku setengah pusing lantaran warna-warna yang berubah-ubah dengan cepat, keseimbanganku yang entah mengapa serasa hilang. Mungkin karena aku yang tidak menginjak sesuatu sebagai pondasiku. Yang jelas, saat ini, aku ingin cepat-cepat sampai. Ke mana pun itu.

“Kita sampai.”

Aku terpengarah. Kelewat shock melihat apa yang ada di depanku.

Pantai yang berwarna biru cerah dengan suasana yang sunyi, seolah tidak ada penghuninya. Apakah saat ini kita berada di suatu pulau antah berantah?

“Tidak, kita ada di Lombok.”

“Lombok? Apa itu?”

“Itu salah satu nama pulau yang ada di Indonesia.”

“Ah.. benarkah? Ini sungguh indah.”

“Benarkah? Kalau begitu coba lihat itu.”

Aku mengikuti arah tangan Lee Donghae yang menunjuk ke sebuah.. sebuah kerumunan manusia?
Bukan bukan, maksudku seperti ada pesta yang sedang berlangsung di sana. Tidak terlalu jauh untuk dilhat jelas oleh mata, namun tetap saja aku harus menyipitkan mata untuk melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi.

Aku terdiam, masih memahami keadaan. Melihat sesosok gadis yang baru saja menerima bunga dari pengantin. Dan aku baru menyadarinya, ternyata sedang ada pesta pernikahan. Unik juga melangsungkan pernikahan di pulau seperti ini.

Tanpa sadar aku pun menikmati pertunjukkan itu, dan beruntungnya Lee Donghae membiarkan aku. Tidak lagi membawaku pergi ke lain tempat. Aku tersenyum melihat sepasang pengantin itu. Rasanya bahagia sekali ya, seolah dunia milik berdua. Dan reflek, aku mebayangkan bahwa pengantin wanita itu adalah aku. Dan.. memang aku!

Hah? Apakah aku tidak salah lihat? Bagaimana bisa?

“Itu.. memang kamu, Minyoung-ssi. Dan pengantin pria itu..”

“Kamu, Lee Donghae.”

“Kau benar.” Ia tersenyum simpul.

Kali ini aku benar-benar yakin. Sepasang pengantin itu adalah kami berdua.

*

Ruangan yang sama seperti pertama kali. Rumah sakit. Juga posisi yang sama saat terakhir kali Lee Donghae masuk kamarku. Bedanya, saat ini Lee Donghae sedang menyiapkan makanan untukku. Mengaduk-aduk teh hangat dan menyodorkannya padaku.

“Apakah aku tidur?”

“Kau tidur selama 13 jam.”

“Selama itu? Dan dalam posisi seperti ini?”

“Apakah kau benar-benar tidur?”

“Aku.. tidak tahu.”

“Jadi kau bisa menginat semuanya?”

“Aku malah merasa aku mengalaminya langsung.”

Lagi-lagi ia tersenyum simpul. Membuat aku justru semakin tidak mengerti maksud ucapannya.

“Kau benar. Kau memang mengalaminya.” Raut wajahnya berubah, terlihat sedikit sayu. Kemudian ia menyuruhku menyeruput teh yang tadi, dan aku mengangguk. Kemudian, ia melanjutkan ucapannya, “Hanya saja, itu dahulu kala.”

“Eh? Apa maksudmu?”


Selesai