Selasa, Juli 29, 2014

Kisah seorang Guru dan Muridnya

Seorang sahabatku yang bernama Ramadhan menyampaikan suatu kisah di akhir masa kunjungnya di kotaku. Ia menyampaikan sebuah kisah yang bisa menghiburku ketika aku sedih bahwa ia akan kembali meninggalkan aku. Bahwa, katanya, masa berkunjungnya sudah habis. Namun, kali ini, ia menghadiahi aku sebuah cerita yang ia katakan, semoga cerita ini bisa menjadi teman yang bisa mengingatkanku akan kehadirannya tahun ini.
***
Suatu hari, seorang guru bersama empat orang muridnya sedang melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu. Kemudian mereka datang ke sebuah kota dan memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju masjid terdekat. Mereka beristirahat di sebuah taman kota yang pada saat itu sedang sepi akan pengunjung. Mungkin akibat cuaca panas dan musim kemarau. Mereka duduk tanpa ada percakapan sedikitpun di antara mereka. Rasa lelah yang menghampiri memang tidak bisa membohongi mereka untuk melepas penat mereka.

“Aku butuh hiburan.” Ujar murid pertama. Ia pun pamit kepada sang guru dan teman-temannya untuk sekedar mencari angin di sekitar taman. Sang guru mengizinkan.

“Aku ikut!” ujar murid yang kedua. Sang guru mengizinkan mereka untuk pergi. Dan karena dua muridnya pergi, sang guru justru menyuruh murid ketiga dan keempatnya untuk ikut pergi bersama mereka.

Murid ketiga dan keempat heran, mengapa mereka justru disuruh pergi sedangkan mereka tetap ingin tinggal di tempat. Sedikit kesal, namun karena mereka adalah seorang murid yang patuh, mereka menyusul teman-temannya dan meninggalkan guru mereka sendirian.

Keempat murid tersebut pergi menyusuri setiap sudut taman yang cukup luas itu. Mereka penasaran, mengapa taman ini begitu rapih dan bersih namun tidak ada seorang penjaga atau tukang kebun pun yang sedang bertugas semenjak mereka tiba di taman ini. Namun, baru saja rasa penasaran mereka itu muncul, jawabannya sudah terlihat jelas.

Mereka menemukan seorang tukang kebun yang sedang membersihkan bagian selatan taman tersebut. Mereka memerhatikan setiap detil yang tukang kebun itu kerjakan. Ia begitu menghayati pekerjaannya, begitu seriusnya, begitu tekunnya, seolah taman itu adalah miliknya yang harus ia jaga bersih.

Kemudian, sang murid pertama mendekati tukang kebun itu, namun tukang kebun itu tidak menyadarinya. Ia masih terus bekerja merawat dan membersihkan taman itu. Kemudian, murid ketiga berbisik pada teman-temannya,

“Tidakkah tukang kebun itu terlalu serius dalam mengerjakan tugasnya?”

“Ya” jawab, murid keempat.

“Aku ingin mengalihkan perhatiannya.”

“Bagaimana caranya?” tanya murid kedua

“Entahlah.” Murid ketiga teridam, ia memandang teman-temannya “tidakkah kita terlalu datar? Sesekali aku pun ingin  menjadi remaja lain yang bisa bertindak seenaknya. Haha. Kita sudah terlalu banyak bersikap baik.”

“Aku ragu akan itu.” Ucap murid kedua

“Sesekali kita bisa merasakan bahagianya berbuat jahil ke orang.”

Singkat cerita, mereka bertiga setuju dan memanggil murid pertama untuk bergabung bersama mereka. Mereka berbincang dan memutuskan untuk tetap menjahili tukang kebun itu. Murid ketiga kemudian mengambil sepatu milik tukang kebun yang diletakkan dia atas kursi taman itu untuk disembunyikan. Namun sayang, tidak ada tempat yang bagus untuk menyembunyikan sepatu itu karena di taman ini, tidak ada suatu rumput atau tanaman rimbun pun untuk menyembunyikannya.

Murid kedua, akhirnya memberi ide untuk memasukkan batu-batu kerikil yang mereka kumpulkan selama perjalanan mereka ke dalam sepatu milik tukang kebun tersebut.

Mereka terkikik membayangkan bagaimana reaksi dari tukang kebun tersebut ketika memasukkan kakiknya ke dalam sepatunya itu dan mendapati batu kerikil yang membuat sakit kaki. Mereka tidak sadar, bahwa guru mereka telah berdiri di belakang mereka.

“Aku mendengar setiap percakapan kalian.”

Keempat murid itu terdiam.

“Tegakah kalian melihat tukang kebun itu merasa kesakitan? Meskipun rasa sakitnya tidak seperti tertusuk jarum.”

“Kami hanya ingin hiburan.” Ucap murid ketiga

“Aku paham itu.”

“Tegakah guru untuk tidak melihat senyum dan tawa tersungging di wajah kami?”

“Aku tidak tega.”

“Lalu kenapa...”

“Aku tidak ingat bahwa agama kita pernah mengajarkan kita untuk tertawa di atas penderitaan orang lain”

“Tapi tukang kebun itu tidak menderita.”

“Siapa yang tahu? Bagaimana kau tau bahwa ia tidak sedang kenapa-kenapa?”

Tidak ada yang jawab.

“Tidakkah kalian bayangkan... semisal, kalian mengubah batu-batu kerikil menjadi beberapa lembar uang kalian?”

Keempat murid tersebut bingung. Bagaimana mungkin mereka mendapat kebahagiaan dengan mengorbankan benda berharga mereka?

“Coba kalian bayangkan bagaimana tukang kebun itu merasa bahagia melihat uang yang kalian berikan untuknya, meskipun itu jumlahnya sedikit. Dan betapa bahagianya kalian melihat ia bahagia.”

Mereka terdiam.

“Aku berbicara seperti ini karena aku pernah mengalaminya. Percayalah.” Kemudian sang guru pergi meninggalkan keempat muridnya.

Keempat murid tersebut mencoba mengikuti saran guru mereka, karena mereka tahu, guru mereka tidak pernah salah dalam memberikan saran bagi mereka. Mereka menyisipkan setiap lembar dari uang yang mereka miliki untuk kemudian diletakkan di dalam sepatu tukang kebun itu dan pergi menemui guru mereka.

Singkat cerita, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju masjid terdekat. Mereka menunaikan shalat ashar dan beristirahat di beranda kanan masjid. Beberapa waktu berlalu dan tibalah seorang lelaki paruh baya yang merupakan tukang kebun yang beberapa jam lalu mereka temui di taman kota masuk ke dalam masjid.

Tukang kebun itu segera membasuh wajahnya dan mengerjakan shalat. Aneh, karena tukang kebun itu menangis sesenggukan sewaktu shalat. Sang guru dan keempat muridnya tanpa sadar memerhatikan tukang kebun itu. Hingga ia selesai shalat dan ia berdoa kepada Allah, Tuhan mereka yang Maha Agung.

Tukang kebun itu berterima kasih kepada Allah dengan isak tangisnya yang begitu haru, begitu senang, saking senangnya karena ia tidak tahu lagi bagaimana bisa ia mengucapkan rasa terimakasihnya kepada Allah SWT. Ia berterima kasih, karena di saat ia sedang kepayahan, kesulitan mencari uang untuk membiayai pengobatan istrinya. Tanpa ia duga, ia mendapatkan uang untuk di bawa pulang.

Empat murid itu terpana melihat pemandangan si tukang kebun. Mereka tidak menyangka, perbuatan mereka begitu menolong si tukang kebun. Dan saat itu mereka pun sadar, bagaimana malangnya nasib si tukang kebun apabila mereka meletakkan batu kerikil di sepatunya. Ia kelelahan, ia kehausan, dan ia sedang bingung mengenai keadaan istrinya, bagaimana kalau ditambah batu kerikil yang cukup membuatnya berteriak ‘AUW’ dan sungguh saat itu, keempat murid tersebut langsung menitikkan air matanya. Ia meminta maaf kepada Allah sekaligus berterima kasih karena masih dijaga dari pebuatan yang memalukan itu.

Si tukang kebun menoleh dan memandang mereka. Spontan, ia tersenyum kepada mereka. Dan bayangkan, betapa ikhlas senyum si tukang kebun itu membuat sang guru dan keempat muridnya menjad trenyuh hatinya.

Si tukang kebun pamit dan beranjak pulang untuk membawa istrinya berobat. Sang guru pun tersenyum senang kepada murid-muridnya

“Jadi, anak-anakku. Lebih bahagia mana melihat si tukang kebun itu menderita atau tersenyum bahagia seperti tadi?”
***

Kini, Ramadhan akan segera pergi meninggalkanku. Tapi, kisah itu mengajarkanku satu hal. Banyak pilihan yang bisa kita lakukan untuk membahagiakan diri kita, semua bergantung pada kita untuk mengambil pilihannya. Aku, memilih untuk berbagi kebahagiaan yang aku punya. Karena sungguh, egois sekali jika kita mementingkan kebahagiaan kita namun kita tidak bisa melihat bagaimana orang lain sangat tersiksa akibat itu.

Untukmu di sana, sungguh.. aku ingin melihatmu bahagia. Aku ingin menjadi seseorang yang juga merasakan kebahagiaan dari kebahagiaanmu. Jika setiap keputusan yang telah kau buat memang membuatmu bahagia, dan meski itu bukan sesuatu yang aku inginkan. Sekali lagi, aku ingin mengatakan, bahwa aku ingin ikut bahagia bersamamu. Bila bonus menghampiriku, aku ingin menjadi orang pertama yang kau tularkan rasa bahagiamu itu.

Terimakasih Ramadhan. Aku akan sangat merindukanmu.

-selesai-

NB : cerita ini didedikasikan untuk OT. Tulisan ini (mungkin) gak sebagus cerita-cerita di luar sana. tapi semoga bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Sekali lagi, selamat ya! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar