Seorang sahabatku yang bernama Ramadhan menyampaikan
suatu kisah di akhir masa kunjungnya di kotaku. Ia menyampaikan sebuah kisah
yang bisa menghiburku ketika aku sedih bahwa ia akan kembali meninggalkan aku. Bahwa,
katanya, masa berkunjungnya sudah habis. Namun, kali ini, ia menghadiahi aku
sebuah cerita yang ia katakan, semoga cerita ini bisa menjadi teman yang bisa
mengingatkanku akan kehadirannya tahun ini.
***
Suatu hari, seorang
guru bersama empat orang muridnya sedang melakukan perjalanan untuk menuntut
ilmu. Kemudian mereka datang ke sebuah kota dan memutuskan untuk beristirahat
sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju masjid terdekat. Mereka
beristirahat di sebuah taman kota yang pada saat itu sedang sepi akan
pengunjung. Mungkin akibat cuaca panas dan musim kemarau. Mereka duduk tanpa
ada percakapan sedikitpun di antara mereka. Rasa lelah yang menghampiri memang
tidak bisa membohongi mereka untuk melepas penat mereka.
“Aku butuh
hiburan.” Ujar murid pertama. Ia pun pamit kepada sang guru dan teman-temannya
untuk sekedar mencari angin di sekitar taman. Sang guru mengizinkan.
“Aku ikut!” ujar
murid yang kedua. Sang guru mengizinkan mereka untuk pergi. Dan karena dua
muridnya pergi, sang guru justru menyuruh murid ketiga dan keempatnya untuk
ikut pergi bersama mereka.
Murid ketiga dan
keempat heran, mengapa mereka justru disuruh pergi sedangkan mereka tetap ingin
tinggal di tempat. Sedikit kesal, namun karena mereka adalah seorang murid yang
patuh, mereka menyusul teman-temannya dan meninggalkan guru mereka sendirian.
Keempat murid
tersebut pergi menyusuri setiap sudut taman yang cukup luas itu. Mereka
penasaran, mengapa taman ini begitu rapih dan bersih namun tidak ada seorang
penjaga atau tukang kebun pun yang sedang bertugas semenjak mereka tiba di
taman ini. Namun, baru saja rasa penasaran mereka itu muncul, jawabannya sudah
terlihat jelas.
Mereka menemukan
seorang tukang kebun yang sedang membersihkan bagian selatan taman tersebut.
Mereka memerhatikan setiap detil yang tukang kebun itu kerjakan. Ia begitu
menghayati pekerjaannya, begitu seriusnya, begitu tekunnya, seolah taman itu
adalah miliknya yang harus ia jaga bersih.
Kemudian, sang
murid pertama mendekati tukang kebun itu, namun tukang kebun itu tidak
menyadarinya. Ia masih terus bekerja merawat dan membersihkan taman itu.
Kemudian, murid ketiga berbisik pada teman-temannya,
“Tidakkah tukang
kebun itu terlalu serius dalam mengerjakan tugasnya?”
“Ya” jawab, murid
keempat.
“Aku ingin
mengalihkan perhatiannya.”
“Bagaimana
caranya?” tanya murid kedua
“Entahlah.” Murid
ketiga teridam, ia memandang teman-temannya “tidakkah kita terlalu datar?
Sesekali aku pun ingin menjadi remaja
lain yang bisa bertindak seenaknya. Haha. Kita sudah terlalu banyak bersikap baik.”
“Aku ragu akan
itu.” Ucap murid kedua
“Sesekali kita bisa
merasakan bahagianya berbuat jahil ke orang.”
Singkat cerita, mereka
bertiga setuju dan memanggil murid pertama untuk bergabung bersama mereka.
Mereka berbincang dan memutuskan untuk tetap menjahili tukang kebun itu. Murid
ketiga kemudian mengambil sepatu milik tukang kebun yang diletakkan dia atas
kursi taman itu untuk disembunyikan. Namun sayang, tidak ada tempat yang bagus
untuk menyembunyikan sepatu itu karena di taman ini, tidak ada suatu rumput
atau tanaman rimbun pun untuk menyembunyikannya.
Murid kedua,
akhirnya memberi ide untuk memasukkan batu-batu kerikil yang mereka kumpulkan
selama perjalanan mereka ke dalam sepatu milik tukang kebun tersebut.
Mereka terkikik
membayangkan bagaimana reaksi dari tukang kebun tersebut ketika memasukkan
kakiknya ke dalam sepatunya itu dan mendapati batu kerikil yang membuat sakit
kaki. Mereka tidak sadar, bahwa guru mereka telah berdiri di belakang mereka.
“Aku mendengar
setiap percakapan kalian.”
Keempat murid itu
terdiam.
“Tegakah kalian
melihat tukang kebun itu merasa kesakitan? Meskipun rasa sakitnya tidak seperti
tertusuk jarum.”
“Kami hanya ingin
hiburan.” Ucap murid ketiga
“Aku paham itu.”
“Tegakah guru untuk
tidak melihat senyum dan tawa tersungging di wajah kami?”
“Aku tidak tega.”
“Lalu kenapa...”
“Aku tidak ingat bahwa
agama kita pernah mengajarkan kita untuk tertawa di atas penderitaan orang
lain”
“Tapi tukang kebun
itu tidak menderita.”
“Siapa yang tahu?
Bagaimana kau tau bahwa ia tidak sedang kenapa-kenapa?”
Tidak ada yang
jawab.
“Tidakkah kalian
bayangkan... semisal, kalian mengubah batu-batu kerikil menjadi beberapa lembar
uang kalian?”
Keempat murid
tersebut bingung. Bagaimana mungkin mereka mendapat kebahagiaan dengan
mengorbankan benda berharga mereka?
“Coba kalian
bayangkan bagaimana tukang kebun itu merasa bahagia melihat uang yang kalian
berikan untuknya, meskipun itu jumlahnya sedikit. Dan betapa bahagianya kalian
melihat ia bahagia.”
Mereka terdiam.
“Aku berbicara
seperti ini karena aku pernah mengalaminya. Percayalah.” Kemudian sang guru pergi
meninggalkan keempat muridnya.
Keempat murid
tersebut mencoba mengikuti saran guru mereka, karena mereka tahu, guru mereka
tidak pernah salah dalam memberikan saran bagi mereka. Mereka menyisipkan
setiap lembar dari uang yang mereka miliki untuk kemudian diletakkan di dalam
sepatu tukang kebun itu dan pergi menemui guru mereka.
Singkat cerita,
mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju masjid terdekat. Mereka menunaikan
shalat ashar dan beristirahat di beranda kanan masjid. Beberapa waktu berlalu
dan tibalah seorang lelaki paruh baya yang merupakan tukang kebun yang beberapa
jam lalu mereka temui di taman kota masuk ke dalam masjid.
Tukang kebun itu
segera membasuh wajahnya dan mengerjakan shalat. Aneh, karena tukang kebun itu
menangis sesenggukan sewaktu shalat. Sang guru dan
keempat muridnya tanpa sadar memerhatikan tukang kebun itu. Hingga ia selesai
shalat dan ia berdoa kepada Allah, Tuhan mereka yang Maha Agung.
Tukang kebun itu
berterima kasih kepada Allah dengan isak tangisnya yang begitu haru, begitu
senang, saking senangnya karena ia tidak tahu lagi bagaimana bisa ia
mengucapkan rasa terimakasihnya kepada Allah SWT. Ia berterima kasih, karena di
saat ia sedang kepayahan, kesulitan mencari uang untuk membiayai pengobatan
istrinya. Tanpa ia duga, ia mendapatkan uang untuk di bawa pulang.
Empat murid itu
terpana melihat pemandangan si tukang kebun. Mereka tidak menyangka, perbuatan
mereka begitu menolong si tukang kebun. Dan saat itu mereka pun sadar,
bagaimana malangnya nasib si tukang kebun apabila mereka meletakkan batu
kerikil di sepatunya. Ia kelelahan, ia kehausan, dan ia sedang bingung mengenai
keadaan istrinya, bagaimana kalau ditambah batu kerikil yang cukup membuatnya
berteriak ‘AUW’ dan sungguh saat itu, keempat murid tersebut langsung
menitikkan air matanya. Ia meminta maaf kepada Allah sekaligus berterima kasih
karena masih dijaga dari pebuatan yang memalukan itu.
Si tukang kebun
menoleh dan memandang mereka. Spontan, ia tersenyum kepada mereka. Dan
bayangkan, betapa ikhlas senyum si tukang kebun itu membuat sang guru dan
keempat muridnya menjad trenyuh hatinya.
Si tukang kebun
pamit dan beranjak pulang untuk membawa istrinya berobat. Sang guru pun
tersenyum senang kepada murid-muridnya
“Jadi, anak-anakku.
Lebih bahagia mana melihat si tukang kebun itu menderita atau tersenyum bahagia
seperti tadi?”
***
Kini, Ramadhan akan segera pergi meninggalkanku.
Tapi, kisah itu mengajarkanku satu hal. Banyak pilihan yang bisa kita lakukan
untuk membahagiakan diri kita, semua bergantung pada kita untuk mengambil
pilihannya. Aku, memilih untuk berbagi kebahagiaan yang aku punya. Karena
sungguh, egois sekali jika kita mementingkan kebahagiaan kita namun kita tidak
bisa melihat bagaimana orang lain sangat tersiksa akibat itu.
Untukmu di sana, sungguh.. aku ingin melihatmu
bahagia. Aku ingin menjadi seseorang yang juga merasakan kebahagiaan dari
kebahagiaanmu. Jika setiap keputusan yang telah kau buat memang membuatmu
bahagia, dan meski itu bukan sesuatu yang aku inginkan. Sekali lagi, aku ingin
mengatakan, bahwa aku ingin ikut bahagia bersamamu. Bila bonus menghampiriku,
aku ingin menjadi orang pertama yang kau tularkan rasa bahagiamu itu.
Terimakasih Ramadhan. Aku akan sangat merindukanmu.
-selesai-
NB : cerita ini didedikasikan untuk OT. Tulisan ini (mungkin) gak sebagus cerita-cerita di luar sana. tapi semoga bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Sekali lagi, selamat ya!
Terimakasih Ramadhan. Aku akan sangat merindukanmu.
-selesai-
NB : cerita ini didedikasikan untuk OT. Tulisan ini (mungkin) gak sebagus cerita-cerita di luar sana. tapi semoga bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Sekali lagi, selamat ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar