Everything goes change, ya?
Kata-kata itu meluncur begitu saja di benak-ku ketika aku mulai bangun dan tersadar di mana aku berada. Ruangan yang masih sama. Penerangan yang masih sama. Suasana yang masih sama dengan perabotan yang tertata sama persis seperti ketika aku pertama kali masuk ke sini. Tidak ada yang berubah, kecuali mungkin kondisiku yang semakin... membaik?
Kamarku kosong. Tidak ada yang menunggu atau mengunjungi sama sekali. Bahkan kedua orang tuaku dan adikku. Mungkin mereka sedang pulang untuk istirahat sebentar baru kembali lagi ke sini, atau mungkin jam jenguk rumah sakit sudah tutup dan seluruh perawat juga dokter sedang beristirahat? Karena sudah kira-kira 10 menit sejak aku terbangun, tidak ada sedikitpun suara gaduh rumah sakit atau suara percakapan yang terdengar. Benar-benar sunyi.
Aku menoleh, ingin mengambil segelas air putih yang telah disediakan, karena sungguh, tenggorokanku terasa kering sekali sampai-sampai untuk menelan ludah pun rasanya sulit. Aku bergerak perlahan, menaikkan badanku agar bisa duduk kemudian mengambil segelas air putih yang berada di meja sebelah tempat tidur. Rasa sakit sedikit mencuat begitu aku berhasil menyandarkan punggungku pada bantal. Aku tidak begitu mempedulikannya karena satu yang aku tahu. Itu artinya aku sudah pulih. Bukan dalam arti sehat walafiat sih, tapi, pendarahan yang terjadi di dalam ususku sudah dibersihkan. Operasinya berjalan lancar.
Namun demikian, justru rasa lelah yang sangat terasa adalah di kedua kakiku. Rasanya seperti aku telah berlari ribuan kilometer dalam waktu beberapa jam terakhir. Padahal, sudah hampir 2 hari aku tidak makan nasi. Dan aku tidak melakukan akitivitas yang benar-benar menguras tenaga sehari sebelum aku melakukan operasi.
Tapi.. entah mengapa, aku merasa.. merasa.. baru melakukan banyak hal baru-baru ini. Aku juga tidak sepenuhnya yakin sih, karena yang aku ingat. Aku benar-benar istirahat total beberapa hari terakhir ini. Tapi, ketika aku berpikir, menimbang-nimbang, mencari tahu apapun yang bisa aku pikirkan. Aku mengingat seseorang. Seorang laki-laki. Tapi jelas itu bukanlah adikku. Seorang laki-laki berkulit putih, berperawakan tinggi, tegap, memakai kaos berwarna biru dongker dengan jin dan sepatu kets hitam.
Aku berusaha mengingat, ralat, tepatnya memikirkan bagaimana wajahnya, rupanya, memikirkan dan menangkap semua imajinasi yang ada di kepalaku ketika pintu kamarku berbunyi menandakan seseorang sedang mengetuk pintunya dan seseorang masuk ke dalam kamar. Saat itu juga aku langsung melongo.
Dia laki-laki yang baru saja ada di dalam kepalaku.
*
Bedanya, laki-laki itu memakai kemeja biru muda, celana bahan berwarna hitam dan sepatu serta jas putih yang mencirikan bahwa ia adalah seorang dokter. Apakah ia dokter yang menanganiku saat operasi?
Jawabannya adalah tidak. Aku ingat betul bahwa dokter yang menanganiku adalah perempuan.
Dokter Song Hye Kyo. Aku bahkan ingat namanya kan? Jadi jelas kalau aku tidak hilang ingatan. Atau ia asisten dari dokter Song Hye Kyo? Masa, sih?
Tapi penampilannya tidak mengindikasikan bahwa ia adalah seorang asisten, melainkan seorang dokter profesional. Lalu, bagaimana bisa ia menjadi orang yang aku pikirkan barusan?
Sementara semua ocehan itu berkelebat di benakku. Dokter itu menghampiriku. Tersenyum padaku. Memeriksa kondisiku. Hingga ke denyut nadiku.
Sial. Bisa-bisa aku salah tingkah kalau begini. Masalahnya adalah, diantara kami berdua tidak sedikitpun ada percakapan sampai.. sampai.. ketika ia berkata,
“Nah, Min Young-ssi. Bagaimana tidurmu?”
*
Seolah dibius oleh perkataannya, aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Bukan melantur ke mana-mana maksudnya, tapi entah mengapa, aku seperti ditarik masuk ke matanya, semakin dalam-dalam sampai-sampai aku berpindah ke sebuah tempat, melewati mesin waktu yang membuat kepalaku sedikit pening karena berputar-putar kemudian dihempaskan ke suatu tempat.
Sayangnya.. itu bukan hanya pikiranku belaka. Sekarang aku bukan lagi di kamar rumah sakitku, tidak ada dokter itu, tidak ada ketenangan yang semula menemaniku.
Aku terbaring, tergeletak dengan pakaian seadanya di sebuah tempat yang sangat ramai (Aku berpikir bahwa itu adalah semacam tempat hiburan), badanku pegal-pegal seperti habis dihempaskan begitu saja. Pakaianku yang sekarang bukanlah pakaian rumah sakit tadi. Sedikit copang-camping, kotor deh pokoknya. Orang-orang mulai menatapku. Ada yang kasihan, ada yang jijik, ada yang terheran-heran mengapa seorang gadis berusia 23 tahun memakai pakaian tidur dan kumal ada di tempat seperti ini. Rambutku benar-benar acak-acakan (serius, meski aku tidak punya cermin, aku yakin, aku seperti orang gila yang tersesat) membuat semakin banyak orang memerhatikan aku.
Namun, alih-alih segera bergegas pergi mencari toilet, aku malah diam, menatap balik orang-orang yang menatapku, mencoba mencari fokus pandanganku yang sedikit agak kabur. Kemudian aku melihat-lihat, mencari seseorang yang bisa aku mintai tolong untuk segera membawaku kabur dari sini, dan yang kudapatkan adalah seorang petugas yang setengah berlari menghampiriku.
Mati aku.
Aku pasti benar-benar dikira orang gila.
Tapi kepalaku tidak bisa diajak bekerja sama.
Aku tidak bisa lari.
Tidak bisa menggerakkan sedikitpun kakiku.
Dan ketika dua petugas itu sudah berada di depanku, alih-alih menyuruhku pergi karena sudah salah tempat, mengira aku adalah orang gila. Faktanya adalah mereka berdua justru mengkhawatirkan aku. Meskipun seharusnya aku segera menjawab pertanyaannya, meminta mereka membawaku ke rumah sakit atau klinik terdekat, aku terdiam hingga seseorang kemudian mendatangiku.
Iya orang yang tadi. Dokter itu.
“Tidak apa-apa. Dia pacarku.”
Dan ia menggamit kedua tanganku. Seketika itu pula, kedua petugas itu tiba-tiba mengabur, menjadi tidak dikenali, sekelilingku menjadi sunyi, orang-orang menghilang dan segalanya mendadak menjadi gelap perlahan-lahan. Kemudian hilang. Hitam. Gelap. Aku berada di kegelapan. Tidak ada cahaya sedikitpun. Tidak ada ruangan. Tidak ada apapun. Bahkan rasanya tidak ada udara yang bisa aku hirup. Namun aku masih bisa bernapas. Aneh memang.
Kali ini, aku merasa sendirian. Merasa ditinggal. Sedikit merasa takut tetapi kemudian sadar bahwa ini tidak nyata, aku sekonyong-konyong mencari jalan keluar. Berjalan menyusuri kegelapan, berharap menemukan tembok kemudian pintu agar aku bisa segera keluar. Aku bergerak perlahan, menapaki lantai yang menjadi pijakanku dengan hati-hati, dan ketika mendapati bahwa semua aman, aku segera mempercepat langkahku seraya mengulurkan kedua tanganku untuk meraba-raba. Namun sewaktu aku mempercepat langkahku, semakin mempercepat langkahku, aku semakin panik lantaran tidak kunjung menemukan dinding. Ini berarti, ruangan ini tidak berujung. Dan pemikiran itu sungguh membuatku takut, kemudian aku memutuskan untuk membelok arah pandanganku yang semula ke depan mejadi ke samping kanan. Dan seketika itu juga aku menemukan secercah cahaya. Sangat kecil, tapi cukup membuat aku menyunggingkan senyum.
Seolah tidak ingin kehilangan cahaya itu, aku langsung berlari cepatnya menuju lubang kecil itu. Lari dan lari, dan sedetik kemudian aku terjerembap, masuk ke dalam lantai dan kemudian aku jatuh. Gagal. Tidak bisa meraih cahaya itu. Kini, aku tidak tahu lagi harus bagaimana.
Namun pemikiran itu hilang begitu saja ketika aku berada di sebuah kafe, setidaknya begitu sih yang aku tahu begitu melihat plang yang ada di atas pintu tempat aku berdiri. Rasanya begitu aneh karena kakiku seakan goyah akibat jatuh yang baru saja aku alami. Alih-alih mendapati pakaianku yang robek di sana-sini, kini aku melihat bayanganku, replikaku di dalam pintu yang terbuat dari kaca itu, aku melihat sesosok gadis cantik memakai gaun selutut berwarna kuning dari satin yang membuatnya seolah berkilap, dengan lengan sedikit terbuka, rambutku digelung sebagian dengan pita bunga besar berwarna hitam menempel di kepalaku dan sepatu wedges berwarna sama dengan pitaku itu. Dengan tas kecil berwarna putih-emas. Praktis membuatku terlihat sederhana tapi sungguh berkelas.
Aku bingung harus bagaimana. Instingku berkata untuk aku masuk ke dalam kafe itu, jadi aku putuskan untuk mengikutinya saja ditambah seorang waitress memang menghampiriku untuk mengajakku masuk.
“Silahkan, seseorang sudah menunggu Anda sedari tadi.” Begitu kata waitress itu ketika aku dan dia bertemu dan masuk ke dalam kafe itu.
Aku mengiyakan saja apa yang diucapkan waitress itu karena aku sama sekali tidak mengerti. Dan begitu iya mengantarkanku ke meja yang dimaksud. Sadarlah aku bahwa seseorang memang sedang menungguku.
Tapi, siapa?
Ternyata orang yang sama.
Yang ada di taman hiburan.
Yang mengaku-aku sebagai pacarku.
Laki-laki tampan yang jujur saja tidak membuatku menyesal memasuki kafe ini.
“Silahkan” kata waitress itu.
Aku tersenyum ketika ia mulai meninggalkan kami. Kemudian pandanganku beralih dari waitress itu menuju laki-laki yang ada di depanku. Ia tersenyum hangat padaku, seolah aku adalah seseorang yang sangat ia tunggu, yang sangat penting baginya, yang sungguh, harus kuakui senyumnya sangat memesona dan membuatku melongo dan meleleh seketika. Aku tidak tahu siapa dia, tapi jelas saja.. dia seseorang yang sangat spesial.
Meskipun aku sangat ingin menyapanya, sangat ingin mengajaknya berbicara, mengobrol dan melupakan semua orang yang ada di sekeliling kami, aku hanya bisa berkata,
“Siapa kau?”
“Aku? Aku Lee Donghae. Senang mengenalmu.”
“Ah begitu. Senang mengenalmu juga. Tapi maksudku.. aku tidak mengerti kenapa, tapi sedari tadi, kau selalu ada di mana pun aku berada.
“Masa, sih?”
“Lalu kenapa kau bisa ada di sini?” aku kembali bertanya, tidak puas dengan ucapannya itu.
“Aku juga tidak tahu. Bisakah kau berhenti bertanya? Sungguh. Nikmati dulu saja yang ada saat ini.” Aku terdiam. Sedikit malu karena ia bisa membaca ekspresiku. Jadi kuputuskan untuk diam, tidak berbicara apa-apa dan membiarkan dirinya yang memegang kendali percakapan.
“Kau adalah pacarku. Itu benar. Dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Setidaknya di sini. Oh iya, kau cantik sekali memakai gaun itu. Apa kau yang mendesainnya?”
Pacar? Lagi-lagi ia menyebutnya. Aku bahagia tetapi sekaligus merasa ganjil. Maksudku, kau tahu kan, kenapa tiba-tiba laki-laki yang begitu tampan mengaku-ngaku sebagai pacarku? Tapi jika memang benar ia pacarku, maka aku akan menurutinya saa. Membenarkannya begitu saja.
“Tidak. Tidak tahu maksudnya, tapi aku cukup menyukai gaun ini.”
Dia mengangguk. Sebentar kemudian, seorang waiter mengahampiri meja kami dan memberikan secangkir minuman untuk kami berdua. Seolah mengerti maksud dan keinginanku, kafe itu tiba-tiba menyetel musik instrumental yang lembut menemani kami berdua.
“Terima kasih.” Ucap pacarku dan menyelipkan beberapa lmbar uang di saku waiter itu.
Seperti biasa.
“Aku ingin meminta bantuanmu, MinYoung-ssi. Bolehkah?”
“Bantuan? Kalau memang aku bisa, aku akan membantumu.”
“Kau pasti bisa. Yah, diminum dulu, kalau dingin nanti gak enak.”
Aku menatapnya. Dan ia menatapku balik. Kalau boleh aku bilang, tatapannya begitu dalam, begitu intim, begitu sedih, seolah ada banyak beban yang sedang ia hadapi, dan ia begitu menginginkan aku. Tapi, raut wajah itu hanya bertahan sebentar dan ia kembali seperti biasa. Keren.
Itulah yang aku lihat dari wajahnya.
Tidak mau mengecewakannya, aku serta merta langsung mengambil cangkir di depanku dan meneguk isinya perlahan, berusaha menikatinya padahal pikiranku masih saja ada padanya.
Namun, selagi aku menikmati minumanku, pandanganku terhadapnya mulai kabur dan kabur. Aku panik, alih-alih menaruh kembali cangkirku, aku justru menjatuhkannya. Menghempaskannya dan mencari-cari tangannya. Tapi terlambat, pacarku menghilang entah ke mana. Kafe mulai hilang dan semuanya kembali gelap.
Tidak ada cahaya lagi. Aku kembali terjebak ke ruangan kosong ini lagi.
Sial.
Harusnya aku tidak percaya begitu saja pada Lee Donghae.
Pacar? Apanya yang pacar!
Ia meninggalkanku lagi seperti tadi.
Aku menutup wajahku. Aku tahu tidak ada bedanya ketika aku membuka wajahku ataupun menutupnya. Sama-sama gelap. Tapi bukan itu. Aku kesal sekali. Meskipun demikian, aku harus meredam amarahku dan bergerak terus untuk bisa keluar dari sini. Tapi, bagaimana?
Karena ketika aku keluar sebelumnya pun itu bukan sesuatu hal yang kurencanakan, melainkan suatu ketidaksengajaan. Aku mendesah pelan, tahu bahwa tidak ada gunanya berpikir seperti ini. Jadi kuputuskan untuk membuka mataku dan terus mencari cahaya, seperti yang aku lakukan sebelumnya.
Namun begitu aku membuka mataku. Aku benar-benar tercengang. Aku berada di sebuah atap gedung setinggi... aku tidak yakin berapa tingginya, yang jelas tinggi sekali dan di depanku, di sekitarku, gedung-gedung pencakar langit berkumpul. Aku berada di salah satu kota besar di dunia sepertinya.
Aku menoleh dan mendapati Lee Donghae di sampingku. Hah! Dia lagi.
“Hai” sapanya.
“Kita di mana?”
“Los Angeles.”
“Apa? Oh baguslah. Aku ingin sekali ke sini sedari dulu.”
Aku baru saja hendak mau berdiri dan menikmati langit cerah Los Angeles, melihat-lihat bagaimana Los Angeles ketika Lee Donghae, yang katanya pacarku itu, menarikku kembali ke bawah dan menahanku dengan keras. Aku merintih pelan, sakit karena cengkraman tangannya yang begitu kuat dan mendadak.
Ia berdecak pelan, seolah menyalahkanku, “Kau ini..” namun belum sempat menyelesaikan ucapannya, kami berdua dikejutkan oleh suara ledakan kecil tepat di depan kami. Aku terperanjat, refleks ingin berteriak yang kemudian ditahan oleh Donghae.
Aku berpaling, melihat bekas ledakan itu dan disusul oleh satu dentuman lagi yang membuatku takut sekaligus marah juga.
“Pegang ini. Kau tahu, sekarang kita sedang ditembaki musuh! Dan itu semua gara-gara kau! Harrusnya tadi kau tidak berdiri sehingga mereka tau posisi kita saat ini.”
Donghae, menarikku, membawaku ikut bersamanya. Pergi mengnedap-endap dari musuh. Sekarang, aku baru sadar. Aku bahkan sedang memakai pakaian serba hitam dengan jaket kulit merek terkenal dan.. tunggu sebentar. Aku bahkan memakai baju anti peluru. Begitu pula Donghae.
Bodoh! Aku merutuki diriku sendiri.
Aku menolak ajakan Donghae untuk kabur. Tahu bahwa ini tidak nyata, Aku menarik lepas tanganku dan berbalik. Aku melirik ke atas sedikit, dan begitu mengetahui posisi musuhku, aku mengambil senjata yang ternyata sedari tadi sudah berada di punggungku. Membidiknya.
Satu.. dua.. tiga.. empat.. lima.
Ada 5 orang di sana, 3 orang sedang menembaki kami dan 2 orang lainnya.. aku tidak yakin sedang apa. Aku melirik Donghae, dan ia menggelengkan kepala.
Tidak butuh 5 detik, entah bagaimana caranya, karena aku tidak pernah memegang senjata sebelumnya, aku membidik mereka. Persis di kepala. Aku menaruh di depan, meletakkan gagang senapan di dadaku, dan menarik pelatuknya.
Gotcha!
Aku berhasil menjatuhan lawanku. Dan aku mengulangi hal yang sama untuk dua orang lainnya sedangkan Donghae membereskan sisanya.
“Terima kasih” ucapnya. Aku hanya membalas ucapannya dengan senyumku. Puas dengan kinerjaku.
“Jadi, sekarang bisakah kita melihat-lihat langit Los Angeles sebentar saja?” ucapku.
“Tidak. Kita harus pergi.”
Kemudian semuanya kembali kabur. Mulai dari Donghae. Awan, bangunan, musuhku dan sekelilingku kembali kabur. Bedanya, aku tidak kembali lagi ke ruang kosong yang gelap itu. Kini semuanya berubah drastis menjadi sangat panas, yang saking panasnya membuatku langsung berkeringat.
Pakaianku pun berubah. Kini aku hanya memakai kaos katun berlengan pendek dengan jins dan sepatu bot. Aku berada.. di mana ya? Rasa-rasanya seperti berada di kota kelahiranku sendiri, Seoul.
“Tidak. Kita di Tokyo.”
Lagi-lagi ia bisa membaca pikiranku.
Aku memberengut. Sebal karena seolah aku menjadi bonekanya. Seolah aku tidak punya privasi sama sekali di sini.
“Hahaha. Gak usah khawatir, Cuma sebentar kok. Setelah ini selesai, privasimu akan menjadi sepenuhnya milikmu. Kan tadi kau sendiri yang bilang ingin membantuku?”
Ck!
“Tapi kan aku gak bilang ‘iya’”
“Kau bilang kau akan membantuku kalau kau bisa. Dan aku yakin kau bisa.”
Oh iya ya..
Aku hanya diam. Membenarkan perkataannya. Tapi aku pun tidak bisa menolak permintaannya. Entah kenapa.
“Oke kalau memang begitu. Lalu, sekarang kita mau apa di Tokyo?”
“Ikut aku.”
*
Lee Donghae menggenggam tanganku, membawaku pergi lagi dari Tokyo. Aku sama sekali tidak mengerti, bahkan ketika 5 detik berlalu aku berada di Tokyo. Tidak bisakah kami jalan-jalan sebentar? Menikmati Tokyo barangkali?
Ish. Menyebalkan.
Tapi mungkin tidak ada gunanya aku mengeluh seperti ini padanya. Toh, tidak akan dihiraukan juga. Jadi, lebih baik sekarang aku mengikutinya, berdiam diri dan pasrah akan di bawa ke mana. Kami seperti melewati dimensi waktu yang cepat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang jujur saja membuat aku setengah pusing lantaran warna-warna yang berubah-ubah dengan cepat, keseimbanganku yang entah mengapa serasa hilang. Mungkin karena aku yang tidak menginjak sesuatu sebagai pondasiku. Yang jelas, saat ini, aku ingin cepat-cepat sampai. Ke mana pun itu.
“Kita sampai.”
Aku terpengarah. Kelewat shock melihat apa yang ada di depanku.
Pantai yang berwarna biru cerah dengan suasana yang sunyi, seolah tidak ada penghuninya. Apakah saat ini kita berada di suatu pulau antah berantah?
“Tidak, kita ada di Lombok.”
“Lombok? Apa itu?”
“Itu salah satu nama pulau yang ada di Indonesia.”
“Ah.. benarkah? Ini sungguh indah.”
“Benarkah? Kalau begitu coba lihat itu.”
Aku mengikuti arah tangan Lee Donghae yang menunjuk ke sebuah.. sebuah kerumunan manusia?
Bukan bukan, maksudku seperti ada pesta yang sedang berlangsung di sana. Tidak terlalu jauh untuk dilhat jelas oleh mata, namun tetap saja aku harus menyipitkan mata untuk melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi.
Aku terdiam, masih memahami keadaan. Melihat sesosok gadis yang baru saja menerima bunga dari pengantin. Dan aku baru menyadarinya, ternyata sedang ada pesta pernikahan. Unik juga melangsungkan pernikahan di pulau seperti ini.
Tanpa sadar aku pun menikmati pertunjukkan itu, dan beruntungnya Lee Donghae membiarkan aku. Tidak lagi membawaku pergi ke lain tempat. Aku tersenyum melihat sepasang pengantin itu. Rasanya bahagia sekali ya, seolah dunia milik berdua. Dan reflek, aku mebayangkan bahwa pengantin wanita itu adalah aku. Dan.. memang aku!
Hah? Apakah aku tidak salah lihat? Bagaimana bisa?
“Itu.. memang kamu, Minyoung-ssi. Dan pengantin pria itu..”
“Kamu, Lee Donghae.”
“Kau benar.” Ia tersenyum simpul.
Kali ini aku benar-benar yakin. Sepasang pengantin itu adalah kami berdua.
*
Ruangan yang sama seperti pertama kali. Rumah sakit. Juga posisi yang sama saat terakhir kali Lee Donghae masuk kamarku. Bedanya, saat ini Lee Donghae sedang menyiapkan makanan untukku. Mengaduk-aduk teh hangat dan menyodorkannya padaku.
“Apakah aku tidur?”
“Kau tidur selama 13 jam.”
“Selama itu? Dan dalam posisi seperti ini?”
“Apakah kau benar-benar tidur?”
“Aku.. tidak tahu.”
“Jadi kau bisa menginat semuanya?”
“Aku malah merasa aku mengalaminya langsung.”
Lagi-lagi ia tersenyum simpul. Membuat aku justru semakin tidak mengerti maksud ucapannya.
“Kau benar. Kau memang mengalaminya.” Raut wajahnya berubah, terlihat sedikit sayu. Kemudian ia menyuruhku menyeruput teh yang tadi, dan aku mengangguk. Kemudian, ia melanjutkan ucapannya, “Hanya saja, itu dahulu kala.”
“Eh? Apa maksudmu?”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar